Model
pembelajaran scaffolding merupakan
praktik yang didasarkan pada konsep Vygotsky tentang assisted learning. Ini
merupakan teknik pemberian dukungan belajar yang pada tahap awal diberikan
diberikan secara lebih terstruktur, kemudian secara berjenjang menuntun siswa
ke arah kemandirian belajar. Vygotsky membatasi pembelajaran scaffolding
sebagai peranan guru dalam mendukung perkembangan siswa dan menyediakan
struktur dukungan untuk mencapai tahap atau level berikutnya.
Penggunaan
strategi pembelajaran scaffolding bertujuan untuk mendorong siswa menjadi siswa
yang mandiri dan mengatur diri sendiri (self regulating). Begiktu pengetahuan
dan kompetensi belajar siswa meningkat, guru secara berangsur-angsur mengurangi
pemberian dukugan. Jika siswa tidak mampu mencapai kemandirian, guru kembali ke
sistem dukungan untuk membantu siswa memperoleh kemajuan sampai mereka mampu
mencapai kemandirian.
Keuntungan
strategi pembelajaran scaffolding dikemukakan oleh Bransford, Brown, dan
Cocking (2000) sebagai berikut:
·
Memotivasi dan mengaitkan minat
siswa dengan tugas belajar.
·
Menyederhanakan tugas belajar
sehingga bisa lebih terkelola dan bisa dicapai oleh anak
·
Memberi petunjuk untuk membantu anak
terfokus pada pencapaian tujuan.
·
Secara jelas menunjukkan perbedaan
antara pekerjaan anak dan solusi standar atau yang diharapkan.
·
Mengurangi frustasi dan resiko.
·
Memberi model dan mendefinisikan
dengan jelas harapan mengenai aktivitas yang akan dilakukan.
Hogan
dan Pressley (1997) mengemukakan lima teknik pembelajaran scaffolding, yaitu:
1. pemberian model perilaku yang diharapkan;
2. pemberian penjelasan;
3. mengundang siswa berpatisipasi;
4. menjelaskan dan mengklarifikasi pemahaman
siswa;
5. mengundang siswa untuk mengemukakan pendapat.
Salah
satu teknik yang digunakan adalah
pendekatan konstruktivis.Scaffoldingmerupakan teknik mengubah secara
bertahap tingkat dukungan atau bimbingan yang diberikan oleh orang terlatih
kepada siswa selama dalam rangkaian pengajaran (Santrock, 2009).
Scaffoldingmemiliki tiga karakteristik umum, yaitu contingency atau yang
disebut dengan dukungan yang dibedakan berdasarkan tingkat kemampuan siswa;
fading atau penarikan bantuan secara bertahap; dan transfer of responsibility
atau memindahkan tanggung jawab terhadap tugas kepada siswa secara bertahap.
Dalam
pengaplikasiannya di kelas, terdapat tiga tingkatan Scaffolding (Anghileri,
2006). Tingkatan pertama adalah saat proses pembelajaran yang dapat berlangsung
tanpa adanya intervensi langsung dari guru. Dalam tingkatan ini, terdapat alat
penunjang pembelajaran dan penyusunan ruang yang melibatkan pengaturan tempat
duduk serta kondisi lingkungan kelas. Pada tingkatan ini, guru memberikan tugas
berstruktur dan memberikan umpan balik pada siswa untuk menemukan solusi dan
merefleksikan proses dalam solusi tersebut.
Tingkatan
kedua Scaffolding adalah dengan adanya interaksi langsung antara guru dengan
siswa yang dikaitkan dengan materi pelajaran yang akan diberikan di kelas.
Sebelum memulai kegiatan belajar mengajar di kelas, guru sedikit menjabarkan
materi yang akan dipelajari. Saat materi selesai dijelaskan di dalam kelas,
guru memberikan tugas kepada siswa untuk menggali pemahamannya sendiri mengenai
materi yang telah disampaikan. Lima karakteristik yang ada dalam interaksi ini
adalah mengarahkan siswa untuk melihat, menyentuh, mengucapkan apa yang ia
lihat dan pikirkan; mengarahkan siswa untuk menjelaskan; menginterpretasi apa
yang dilakukan dan dikatakan siswa; menggunakan pertanyaan yang memancing.
Selain itu, dalam tahapan ini, guru juga berusaha untuk menunjukkan modifikasi
atau alternatif lain dalam menjelaskan materi agar dapat diterima secara lebih
sederhana oleh siswa di kelas. Interaksi yang terjadi dalam kegiatan seperti
ini adalah menetukan arti dari situasi yang abstrak, menyederhanakan masalah,
menyampaikan materi dengan cara yang lebih diterima oleh siswa, dan
menegosiasikan pemahaman terhadap siswa.
Tingkatan
ketiga Scaffolding adalah kegiatan belajar mengajar yang menekankan pada
pengembangan kemampuan berpikir konseptual. Dalam tingkatan ini, siswa
mendapatkan dukungan untuk membangun, mengembangkan, dan menghasilkan wacana
konseptual.
Sebagai
salah satu teknik yang menggunakan konsep pendekatan konstruktivis, Scaffolding
tidak dapat digunakan dengan cara yang sama di setiap situasi. Oleh karena itu,
biasanya teknik ini digunakan untuk mengajarkan materi yang dianggap baru dan
sulit bagi anak-anak. Salah satu mata pelajaran yang dapat menggunakan teknik
ini dalam kegiatan belajar mengajar adalah matematika.
Model
pembelajaran matematika dapat dilihat pada hubungan interaksi antara pembelajar
dan peserta didik. Jika pembelajar lebih
banyak berperan maka pembelajaran lebih pada metode ceramah atau ekspositari
(teacher centered ), sedang bila peserta didik lebih dominan maka lebih ke arah
pembelajaran inquiri ( student centered ). Model pembelajaran satu arah ini
merupakan kasus ekstrim yang tentu tidak cocok untuk kebanyakan peserta didik.
Maka diperlukan batasan seberapa jauh “dukungan pembelajar” dan seberapa jauh
“kebebasan peserta didik” dalam proses pembelajaran. Pengertian istilah scaffolding
berasal dari istilah ilmu teknik sipil yaitu berupa bangunan kerangka sementara atau penyangga
(biasanya terbuat dari bambu, kayu, atau batang
besi) yang memudahkan pekerja membangun gedung. Metapora ini harus
secara jelas dipahami agar kebermaknaan pembelajaran dapat tercapai. Sebagian
pakar pendidikan mendefinisikan scaffolding
berupa bimbingan yang diberikan oleh seorang pembelajar kepada peserta
didik dalam proses pembelajaran dengan persoalan-persoalan terfokus dan
interaksi yang bersifat
positif.Scaffolding diartikan ke dalam bahasa Indonesia “perancah”,
yaitu bambu (balok dsb)yang dipasang untuk tumpuan ketika hendak mendirikan
rumah, membuat tembok, dan sebagainya (Poerwadarminta, 1983; 735)
Lange
(2002) menyatakan bahwa ada dua langkah utama yang terlibat dalam
scaffolding pembelajaran: (1)
pengembangan rencana pembelajaran untuk membimbing peserta didik dalam memahami
materi baru, dan (2) pelaksanaan rencana, pembelajar memberikan bantuan
kepada peserta didik di setiap langkah
dari proses pembelajaran.
Scaffolding
terdiri dari beberapa aspek khusus yang dapat membantu peserta didik dalam
internalisasi penguasaan pengetahuan. Berikut aspek-aspek scaffolding :
·
Intensionalitas: Kegiatan ini
mempunyai tujuan yang jelas terhadap aktivitas
pembelajaran berupa bantuan yang selalu didiberikan kepada setiap
peserta didik yang membutuhkan.
·
Kesesuaian: Peserta didik yang tidak
bisa menyelesaikan sendiri permasalahan yang dihadapinya, maka pembelajar
memberikan bantuan penyelesaiannya.
·
Struktur: Modeling dan
mempertanyakan kegiatan terstruktur di sekitar sebuah model pendekatan yang sesuai dengan tugas dan
mengarah pada urutan alam pemikiran dan
bahasa.
·
Kolaborasi: Pembelajar menciptakan
kerjasama dengan peserta didik dan menghargai karya yang telah dicapai oleh
peserta didik. Peran pembelajar adalah kolaborator bukan sebagai evaluator.
·
Internalisasi: Eksternal
scaffolding untuk kegiatan ini secara
bertahap ditarik sebagai pola yang
diinternalisasi oleh peserta didik (hal. 6).
Larkin
(2002) menyatakan scaffolding salah satu
prinsip pembelajaran yang efektif yang memungkinkan para pembelajar untuk
mengakomodasikan kebutuhan peserta didik masing-masing. Istilah ini juga
diperkenalkan oleh Reichgerlt, Shadbolt, Paskiewica, & Wood (1993) seperti
dikutip oleh Zhao dan Orey (1999).
Dukungan
terhadap peserta didik dalam menyelesaikan proses belajar dapat berupa
keaktifan peserta didik dalam proses
pembelajaran, strategi pembelajaran, keragaman model pembelajaran, bimbingan pengalaman dari pembelajar,
fasilitas belajar, dan iklim belajar peserta didik dari orang tua di rumah dan
pembelajar di sekolah. Dukungan belajar yang dimaksud di sini adalah dukungan
yang bersifat konkrit dan abstrak sehingga tercipta kebermaknaan proses
belajar peserta didik.
Pembelajar
tidak diharuskan memiliki semua pengetahuan, tetapi hendaknya memiliki pengetahuan yang cukup sesuai dengan yang
mereka perlukan untuk memberi dukungan belajar kepada peserta didik, di mana
memperolehnya, dan bagaimana memaknainya. Para pembelajar diharapkan bertindak
atas dasar berpikir yang mendalam, bertindak independen dan kolaboratif satu
sama lain, dan siap menyumbangkan pertimbangan-pertimbangan kritis. Para
pembelajar diharapkan menjadi masyarakat memiliki pengetahuan yang luas dan
pemahaman yang mendalam.Scaffolding
selalu digunakan untuk mendukung pembelajaran berbasis masalah (PBL)
(Hoffman and Ritchie, 1997)
Langkah-langkah Strategi Pembelajaran Scaffolding
Secara
operasional, strategi pembelajaran scaffolding dapat ditempuh melalui
tahapan-tahapan kegiatan sebagai berikut:
1.
Membangun rapport (hubugan baik)
dengan subyek didik yang akan diajar, sebagai basis hubungan kerja. (Menjelaskan materi pembelajaran).
2.
Menetapkan fokus belajar. Guru perlu
memperoleh persetujuan dari siswa mengenai tujuan-tujuan khusus yang ingin
dicapai dari setiap kegiatan yang akan dilaksanakan. Tujuan tersebut perlu
secara eksplisit memuat kompetensi nurturant yang diharapkan terjadi dalam
proses belajar. Guru juga perlu mencatat beberapa dimensi belajar, seperti:
harapan, kebutuhan, minat, dan keuntungan.
3.
Mengecek hasil belajar sebelumnya
(prior learning)
·
Mengecek harapan, kebutuhan,
pengetahuan, dan pengalaman siswa.
·
Menetapkan titik awal memulai
belajar baru.
·
Menetapkan zone proximal development
(ZPD) atau level perkembangan berikut di atas level perkembangan saat kini
untuk masing-masing siswa. Siswa kemudian dapat dikelompokkan menurut level
perkembangan awal yang dimiliki dan atau yang membutuhkan ZPD yang relatif
sama. Siswa dengan ZPD yang jauh berbeda dengan kemajuan rata-rata kelas dapat
diberi perhatian khusus.
·
Mengupayakan pengetahuan dan
keterampilan yang dimiliki siswa sekarang menjadi lebih siap.
·
Menyiapkan pengalaman sebagai basis
bagi proses belajar selanjutnya dan untuk mengecek kemandirian siswa menghadapi
realitas.
·
Menyiapkan bahan untuk belajar
ulang.
4.
Merancang dan menyiapkan tugas-tugas
belajar (aktivitas belajar scaffolding)
·
Jabarkan secara eksplisit tujuan
(harapan dan ekspektasi) dan kebijakan yang telah ditetapkan.
·
Spesifikasi aktivitas dan jadwal
pelaksanaannya.
·
Masukkan pengertian mengenai
kemajuan dan prestasi.
·
Organisir dan tentukan
persyaratan-persyaratan yang diperlukan (sumber, perizinan, tanggung jawab, dan
sebagainya).
5.
Melaksanakan tugas pembelajaran
·
Guru atau siswa menyiapkan
scaffolding untuk aktivitas belajar.
·
Siswa bertindak dan mendapatkan
serta memproses dan menyajikan (kembali) imformasi.
·
Memonitor kemajuan pelaksanaan tugas
dan aktivitas.
·
Guru memediasi siswa melakukan tugas
belajar.
6.
Memantau dan memediasi aktivitas dan
belajar
·
Dorong siswa untuk bekerja dan
belajar diikuti dengan pemberian dukungan seperlunya. Kemudian secara bertahap
guru mengurangi dukungan langsungnya dan membiarkan siswa menyelesaikan tugas
belajar secara mandiri.
·
Berikan dukungan dalam bentuk
pemberian isyarat, kata kunci, tanda mata (reminders), dorongan, contoh, atau
hal lain yang dapat memancing siswa bergerak ke arah kemandirian belajar dan
pengarahan diri.
7.
Mengecek dan mengevaluasi hasil
belajar
·
Melakukan refleksi terhadap
aktivitas, proses, produk, pengalaman dan belajar.
·
Pengetahuan dan keterampilan yang
diperoleh: apakah siswa bergerak ke arah kemandirian dan pengaturan diri dalam
belajar.
·
Efektivitas proses belajar yang
digunakan.
·
Diri siswa sebagai pebelajar
(kesadaran, hambatan-hambatan internal apa yang dihadapi siswa dalam belajar
dan mencapai kemandirian dalam belajar).
8.
Mendorong dilakukannya transferensi
belajar
·
Mengenali peluang-peluang yang bisa
digunakan untuk mentransfer belajar.
·
Mendorong siswa melakukan pengaturan
diri dalam belajar (self regulating learning).
·
Memantau kemajuan siswa dalam
melakukan aktivitas belajar mandiri.
0 comments:
Post a Comment