BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits, oleh umat islam diyakini sebagai sumber
pokok ajaran islam sesudah Al-Qur’an. Dalam tataran aplikasinya, hadits dapat
dijadikan hujjah keagamaan dalam kehidupan dan menempati posisi yang sangat
penting dalam kajian keislaman. Secara struktural hadits merupakan sumber
ajaran islam setelah Al-Qur’an yang bersifat global. Artinya, jika kita tidak
menemukan penjelasan tentang berbagai problematika kehidupan di dalam
Al-Qur’an, maka kita harus dan wajib merujuk pada hadits. Oleh karena itu,
hadits merupakan hal terpenting dan memiliki kewenangan dalam menetapkan suatu
hukum yang tidak termaktub dalam Al-Qur’an.
Ditinjau dari segi kualitasnya, hadits terbagi
menjadi dua yaitu, hadits Maqbul (hadits yang dapat diterima sebagai dalil) dan
haditst Mardud (hadits yang tertolak sebagai dalil). Hadits Maqbul terbagi
menjadi dua yaitu hadits Shahih dan Hasan, sedangkan yang termasuk dalam hadits
Mardud salah satunya adalah hadits Dha’if. Semuanya memiliki ciri dan kriteria
yang berbeda.
Kualitas keshahihan suatu hadits merupakan hal yang
sangat penting, terutama hadits-hadits yang bertentangan dengan hadits, atau
dalil lain yang lebih kuat. Dalam hal ini, maka kajian makalah ini diperlukan
untuk mengetahui apakah suatu hadits dapat dijadikan hujjah syar’iyyah atau
tidak.
B. Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut;
1. Apa pengertian hadits Shahih, Hasan dan Dhoif?
2. Apa syarat-syarat hadits Shahih?
3. Apa penyebab hadits dhoif Serta macam-macamnya?
4. Bagaimana tingkatan-tingkatan shahih?
C. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu sebagai
sarana untuk menambah ilmu pengetahuan yang telah kita miliki terutama tentang
ilmu hadits mengenai Hadits Shahih, Hasan dan Dhoif.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Hadits
Hadits merupakan kalimat musytaq dari kalimat
hadatsa secara bahasa yaitu baru, terjadi, sedangkan secara istilah adalah
مَا
أُضِيْفَ إِلىَ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ أَوْ
فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ أَوْ صِفَةِ خِلْقِيْ أَوْ خُلُقِيْ
apa yang disandarkan kepada nabi saw
baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan dan shifat tabiat dan akhlaqnya.
Didalam pembahasan ilmu mustholahul hadits ada satu
pembahasan mengenai khobar (hadits) terdapat yang maqbul dan mardud. Khobar
maqbul adalah kebenaran orang yang menyampaikan khobarnya itu lebih
kuat/terpercaya (rajih) serta wajib dijadikan sebagai hujjah (dalil) dan
mengamalkanya. Sedangkan khobar mardud adalah kebenaran orang yang menyampaikan
khobarnya itu tidak kuat/terpercaya serta tidak boleh dijadikan sebagai hujjah
(dalil). Adapu khobar maqbul ditinjau dari perbedaan derajat dibagi atas dua yaitu
shahih dan hasan.
B. Pembagian Hadits Sesuai dengan Perbedaan Derajat
1. Hadits Shahih
a) Pengertian Hadits Shahih
Shahih merupakan kalimat musytaq dari kalimat shahha
– yashihhu – suhhan wa sihhatan artiya sembuh, sehat, selamat dari cacat, benar.
Sedangkan secara istilah yaitu :
مَا
اِتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ العَدْلِ الضَابِطِ عَنْ مِثْلِهِ إِلىَ مُنْتَهَاهُ
مِنْ غَيْرِ شُذُوْذٍ وَلاَ عِلَّةٍ.
" Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dhobit (
memiliki hafalan yang kuat) dari awal sampai akhir sanad dengan tanpa syadz dan
tidak pula cacat"
Imam Al-Suyuti mendifinisikan hadits shahih dengan
“hadits yang bersambung sanadnya, dfiriwayatkan oleh perowi yang adil dan
dhobit, tidak syadz dan tidak ber’ilat”.
Definisi hadits shahih secara konkrit baru muncul
setelah Imam Syafi’i memberikan penjelasan tentang riwayat yang dapat dijadikan
hujah, yaitu:
pertama, apabila diriwayatkan oleh para perowi yang
dapat dipercaya pengamalan agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur mermahami
hadits yang diriwayatkan dengan baik, mengetahui perubahan arti hadits bila
terjadi perubahan lafadnya; mampu meriwayatkan hadits secara lafad, terpelihara
hafalannya bila meriwayatkan hadits secara lafad, bunyi hadits yang Dia riwayatkan
sama dengan hadits yang diriwayatkan orang lain dan terlepas dari tadlis
(penyembuyian cacat),
kedua, rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada
Nabi SAW. atau dapat juga tidak sampai kepada Nabi.
b) Syarat-syarat Hadits Shahih
1) Sanadnya Bersambung
setiap perawi dalam sanad hadits menerima riwayat
hadits dari perawi terdekat sebelumnya. Keadaan itu berlangsung demikian sampai
akhir sanad dari suatu hadits. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
rangkaian para perawi hadits shahih sejak perawi terakhir sampai kepada perawi
pertama (para sahabat) yang menerima hadits langsung dari Nabi, bersambung
dalam periwayatannya.
Sanad suatu hadits dianggap tidak bersambung bila
terputus salah seorang atau lebih dari rangkaian para perawinya. Bisa jadi rawi
yang dianggap putus itu adalah seorang rawi yang dha’if, sehingga hadits yang
bersangkutan tidak shahih.
2) Perawinya Adil
Seseorang dikatakan adil apabila ada padanya
sifat-sifat yang dapat mendorong terpeliharanya ketaqwaan, yaitu senantiasa
melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan, dan terjaganya sifat Muru’ah,
yaitu senantiasa berakhlak baik dalam segala tingkah laku dan hal-hal lain yang
dapt merusak harga dirinya.
3) Perwainya Dhabith
Seorang perwai dikatakan dhabit apabila perawi
tersebut mempunyai daya ingat yang sempurna terhadap hadits yang
diriwayatkannya.
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, perawi yang dhabit
adalah mereka yang kuat hafalannya terhadap apa yang pernah didengarnya,
kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut kapan saja manakala diperlukan.
Ini artinya, bahwa orang yang disebut dhabit harus mendengar secara utuh apa
yang diterima atau didengarnya, kemudian mampu menyampaikannya kepada orang lain
atau meriwayatkannya sebagaimana aslinya.
4) Tidak Syadz
Syadz (janggal/rancu) atau syudzuz adalah hadits
yang bertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah
perawinya. Maksudnya, suatu kondisi di mana seorang perawi berbeda dengan rawi
lain yang lebih kuat posisinya. Kondisi ini dianggap syadz karena bila ia
berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya, baik dari segi kekuatan
daya hafalannya atau jumlah mereka lebih banyak, maka para rawi yang lain itu
harus diunggulkan, dan ia sendiri disebut syadz. Maka timbullah penilaian
negatif terhadap periwayatan hadits yang bersangkutan.
5) Tidak Ber’illat
Hadits ber’illat adalah hadits-hadits yang cacat
atau terdapat penyakit karena tersembunyi atau samar-samar, yang dapat merusak
keshahihan hadits. Dikatakan samar-samar, karena jika dilihat dari segi
zahirnya, hadits tersebut terlihat shahih. Adanya kesamaran pada hadits
tersebut, mengakibatkan nilai kualitasnya menjadi tidak shahih. Dengan
demikian, yang dimaksud hadits tidak ber’illat, ialah hadits yang di dalamnya
tidak terdapat kesamaran atau keragu-raguan. ‘Illat hadits dapat terjadi baik
pada sanad mapun pada matan atau pada keduanya secara bersama-sama. Namun
demikian, ‘illat yang paling banyak terjadi adalah pada sanad.
Adapun contoh hadits yang shahih adalah sebagai berikut;
حَدَّثَنَا
عَبْدُاللهِ بْنُ يُوْسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمِ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ
اللهِ ص.م قَرَأَ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّوْرِ "(رواه البخاري)
" Telah menceritakan kepada
kami Abdullah bin yusuf ia berkata: telah mengkhabarkan kepada kami malik dari
ibnu syihab dari Muhammad bin jubair bin math'ami dari ayahnya ia berkata: aku
pernah mendengar rasulullah saw membaca dalam shalat maghrib surat
at-thur" (HR. Bukhari, Kitab Adzan).
Analisis terhadap hadits tersebut:
1. Sanadnya bersambung karena semua rawi dari hadits tersebut mendengar dari
gurunya.
2. Semua rawi pada hadits tersebut dhobit, adapun sifat-sifat para rawi hadits
tersebut menurut para ulama aj-jarhu wa ta'dil sebagai berikut :
a) Abdullah bin yusuf = tsiqat muttaqin.
b) Malik bin Annas = imam hafidz
c) Ibnu Syihab Aj-Juhri = Ahli fiqih dan Hafidz
d) Muhammad bin Jubair = Tsiqat.
e) Jubair bin muth'imi = Shahabat.
3. Tidak syadz karena tidak ada
pertentangan dengan hadits yang lebih kuat serta tidak cacat.
c) Klasifikasi Hadits Shahih
1) Hadits Shahih li-Dzatihi
Hadits Shohih li-Dzatihi adalah suatu hadits yang
sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, diceritakan oleh orang-orang
yang adil, dhabith yang sempurna, serta tidak ada syadz dan ‘Illat yang tercela.
2) Hadits Shahih li-Ghairihi
Adalah hadits yang belum mencapai kualitas shahih,
misalnya hanya berkualitas hasan li-dazatihi, lalu ada petunjuk atau dalil lain
yang menguatkannya, maka hadits tersebut meningkat menjadi hadits shahih
li-ghairihi. Ulama hadits mendefinisikan hadits shahih li-ghairihi.
هو
ماكان رواته متأخراعن درجة الحا فظ الضا بط مع كونه مشهورا بالصدق حتى يكون حديثه
حسنا ثم وجد فيه من طريق اخر مساو لطريقه أوارجح ما يجبر ذالك القصورالواقع فيه
“Yaitu hadits shahih karena adanya
syahid atau mutabi’. Hadits ini semula merupakan hadits hasan, karena adanya
mutabi’ dan syahid, maka kedudukannya berubah menjadi shahih li-Ghairihi.”
d) Kehujahan Hadits Shahih
Hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits shahih
wajib diamalkan sebagai hujah atau dalil syara’ sesuai ijma’ para uluma hadits
dan sebagian ulama ushul dan fikih. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal
yang berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam
hal-hal yang berhubungan dengan aqidah.
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil
qat’i, yaitu al-Quran dan hadits mutawatir. oleh karena itu, hadits ahad tidak
dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan persoalan-persoalan yang berhubungan
dengan aqidah.
e) Tingkatan Hadits Shahih
Perlu diketahui bahwa martabat hadits shahih itu
tergantung tinggi dan rendahnya kepada ke-dhabit-an dan keadilan para
perowinya. Berdasarkan martabat seperti ini, para muhaditsin membagi tingkatan
sanad menjadi tiga yaitu:
Pertama, ashah al-asanid yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya.
seperti periwayatan sanad dari Imam Malik bin Anas dari Nafi’ mawla (mawla =
budak yang telah dimerdekakan) dari Ibnu Umar.
Kedua, ahsan al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadits yang yang tingkatannya
dibawash tingkat pertama diatas. Seperti periwayatan sanad dari Hammad bin
Salamah dari Tsabit dari Anas.
Ketiga. ad’af al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadits yang tingkatannya lebih
rendah dari tingkatan kedua. seperti periwayatan Suhail bin Abu Shalih dari
ayahnya dari Abu Hurairah.
Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi tujuh
tingkatan, yang secara berurutan sebagai berikut:
1) Hadits yang disepakati oleh bukhari dan muslim (muttafaq ‘alaih),
2) Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori saja,
3) Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim saja,
4) Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan AL-Bukhari dan
Muslim,
5) Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari saja,
6) Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja,
7) Hadits yang dinilai shahih menurut ulama hadits selain Al-Bukhari dan Muslim
dan tidak mengikuti persyratan keduanya, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban,
dan lain-lain.
Kitab-kitab hadits yang menghimpun hadits shahih secara berurutan sebagai
berikut:
1) Shahih Al-Bukhari (w.250 H).
2) Shahih Muslim (w. 261 H).
3) Shahih Ibnu Khuzaimah (w. 311 H).
4) Shahih Ibnu Hiban (w. 354 H).
5) Mustadrok Al-hakim (w. 405).
6) Shahih Ibn As-Sakan.
7) Shahih Al-Abani.
2. Hadits Hasan
a) Pengertian Hadits Hasan
Hasan secara bahasa adalah sifat yang menyerupai
dari kalimat “al-husna” artinya indah, cantik. Akan tetapi secara istilah yang
dimaksud dengan Hadits Hasan menurut Ibnu Hajar Al-Atsqalani yaitu:
مَا
اِتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ الْعَدَلِ الَّذِيْ خَفَّ ضَبْطُهُ عَنْ مِثْلِهِ
إِلَى مُنْتَهَاهُ مِنْ غَيْرِ شُذُوْذٍ وَلاَ عِلَّةٍ ".
“Apa yang sanadnya bersambung dengan
periwayatan yang adil, hafalannya yang kurang dari awal sampai akhir sanad
dengan tidak syad dan tidak pula cacat”
Pada dasarnya, hadits hasan dengan hadits shahih
tidak ada perbedaan, kecuali hanya dibidang hafalannya. Pada hadits hasan,
hafalan perawinya ada yang kurang meskipun sedikit. Adapun untuk syarat-syarat
lainnya, antara hadits hasan dengan hadits shahih adalah sama.
Contoh hadits hasan adalah sebagai berikut:
حدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ الضُّبَعِي عَنْ أَبِيْ
عِمْرَانِ الْجَوْنِي عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي مُوْسَي الْأَشْعَرِيْ قَالَ :
سَمِعْتُ أَبِي بِحَضْرَةِ العَدُوِّ يَقُوْلُ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص م : إِنَّ أَبْوَابَ الْجَنَّةِ تَحْتَ
ظِلاَلِ السُّيُوْفِ ..... الحديث
"
“Telah menceritakan kepada kamu
qutaibah, telah menceritakan kepada kamu ja’far bin sulaiman, dari abu imron
al-jauni dari abu bakar bin abi musa al-Asy’ari ia berkata: aku mendengar
ayahku berkata ketika musuh datang : Rasulullah Saw bersabda : sesungguhnya
pintu-pintu syurga dibawah bayangan pedang…”( HR. At-Tirmidzi, Bab Abwabu
Fadhailil jihadi).
b) Klasifikasi Hadits Hasan
1) Hadits Hasan li-Dzatih
Hadits yang sanadnya bersambung dengan periwayatan
yang adil, dhabit meskipun tidak sempurna, dari awal sanad hingga akhir sanad
tanpa ada kejanggalan (syadz) dan cacat (‘Illat) yang merusak hadits.
2) Hadits Hasan li-Ghairih
Hadits yang pada sanadnya ada perawi yang tidak
diketahui keahliannya, tetapi dia bukanlah orang yang terlalu benyak kesalahan
dalam meriwayatkan hadits, kemudian ada riwayat dengan sanad lain yang
bersesuaian dengan maknanya. Jumhur ulama muhaddisin memeberikan definisi
tentang haditst hasan li-Ghairihi sebagai berikut:
مالايخلوإسناده
من مستور لم تتحقق أهليته وليس مغفلا. كثير الخطاء ولاظهر منه سبب مفسق, ويكون متن
الحديث معروفا برويتة مثله أو نحوه من وجه آخر
Yaitu hadits hasan yang sanadnya
tidak sepi dari seorang mastur (tak nyata keahliannya), bukan pelupa yang
banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikan fasik dan matan
haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan yang semisal dan semakna dari
sesuatu segi yang lain.
Haditst hasan li-Ghairihi pada dasarnya adalah hadits
dha’if. Kemudian ada petunjuk lain yang menolongnya, sehingga ia meningkat
menjadi hadits hasan. Jadi, sekiranya tidak ada yang menolong, maka hadits
tersebut akan tetap berkualitas dha’if.
c) Kehujahan Hadits Hasan
Hadits hasan sebagai mana halnya hadits shahih,
meskipun derajatnya dibawah hadits shahih, adalah hadits yang dapat diterima
dan dipergunakan sebagai dalil atau hujjah dalam menetapkan suatu hukum atau
dalam beramal. Para ulama hadits, ulama ushul fiqih, dan fuqaha sepakat tentang
kehujjahan hadits hasan.
3. Hadits Dhoif
a) Pengertian Hadits Dhoif
Dhoif secara bahasa adalah kebalikan dari kuat yaitu
lemah, sedangkan secara istilah yaitu;
مَا
لَمْ يَجْمَعْ صِفَةُ الْحَسَنِ، بِفَقْدِ شَرْطِ مِنْ شُرُوْطِهِ
“ Apa yang sifat dari hadits hasan
tidak tercangkup (terpenuhi) dengan cara hilangnya satu syarat dari
syarat-syarat hadits hasan”
Dengan demikian, jika hilang salah satu kriteria saja, maka hadits itu menjadi
tidak shahih atau tidak hasan. Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai dua atau
tiga syarat maka hadits tersebut dapat dinyatakan sebagai hadits dhai’if yang
sangat lemah. Karena kualitasnya dha’if, maka sebagian ulama tidak
menjadikannya sebagai dasar hukum.
Contoh hadits dhoif adalah sebagai berikut ;
مَاأَخْرَجَهُ
التِّرْمِيْذِيْ مِنْ طَرِيْقِ "حَكِيْمِ الأَثْرَمِ"عَنْ أَبِي
تَمِيْمَةِ الهُجَيْمِي عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ ص م قَالَ : "
مَنْ أَتَي حَائِضاً أَوْ اِمْرَأةً فِي دُبُرِهَا أَوْ كَاهُنَا فَقَدْ كَفَرَ
بِمَا أَنْزَلَ عَلَى مُحَمِّدٍ "
Apa yang diriwayatkan oleh tirmidzi
dari jalur hakim al-atsrami “dari abi tamimah al-Hujaimi dari abi hurairah dari
nabi saw ia berkata : barang siapa yang menggauli wanita haid atau seorang
perempuan pada duburnya atau seperti ini maka sungguh ia telah mengingkari dari
apa yang telah diturunkan kepada nabi Muhammad saw”
Berkata Imam Tirmidzi setelah mengeluarkan (takhrij)
hadits ini : “ kami tidak mengetahui hadits ini kecuali hadits dari jalur hakim
al-atsrami, kemudian hadits ini didhoifkan oleh Muhammad dari segi sanad karena
didalam sanadnya terdapat hakim al-atsrami sebab didhaifkan pula oleh para
ulama hadits”
Berkarta ibnu hajar mengenai hadits ini didalam
kitab “Taqribut Tahdzib” : Hakim al-Atsromi pada rawi tersebut adalah seorang
yang bermuka dua.
Adapun penyebab kedhoifannya karena beberapa hal:
1) Sebab Terputusnya sanad, akan terputus sanad pun terbagi atas 2 bagian yang
perama adalah terputus secara dzhohir (nyata) :
(a) Mu’allaq adalah apa yang dibuang dari permulaan sanad baik satu rawi atau
lebih secara berurutan.
(b) Mursal adalah apa yang terputus dari akhir sanadnya yaitu orang sesudah
tabi’in (Sahabat).
(c) Mughdhal adalah apa yang terputus dari sanadnya 2 atau lebih secara
berurutan.
(d) Munqoti’ adalah apa yang sanadnya tidak tersambung.
Sedangkan yang kedua terputus secara khofi (tersembunyi) yaitu:
(a) Mudallas adalah menyembunyikan cacat (‘aib) pada sanadnya dan memperbagus
untuk dzohir haditsnya.
(b) Mursal Khofi adalah meriwayatkan dari orang yang ia bertemu atau sezaman
dengannya apa yang ia tidak pernah dengar dengan lafadz yang memungkinkan ia
dengar dan yang lainnya seperti qaala.
2) Sebab penyakit pada rawi
Penyakit pada rawi pun terbagi atas 2 yaitu penyakit
dalam ‘adalah dan dhobit (hafalannya), adapun yang pertama penyakit pada
‘adalah (ketaqwaan) yaitu:
(a) Pendusta
(b) Tertuduh dusta
(c) Fasiq
(d) Bid’ah
(e) Kebodohan
Adapun penyakit pada dhobit (hafalan ) yaitu :
(a) Jelek hafalannya
(b) Lalai
(c) Menyelisihi yang tsiqat
(d) Ucapan yang menipu
b) Klasifikasi Hadits Dha’if
1) Dha’if karena tidak bersambung
sanadnya
(a) Hadits Munqathi
Hadits yang gugur sanadnya di satu tempat atau
lebih, atau pada sanadnya disebutkan nama seseorang yang tidak dikenal.
(b) Hadits Mu’allaq
Hadits yang rawinya digugurkan seorang
atau lebih dari awal sanadnya secara berturut-turut.
(c) Hadits Mursal
Hadits yang gugur sanadnya setelah tabi’in. Yang
dimaksud dengan gugur di sini, ialah nama sanad terakhir tidak disebutkan.
Padahal sahabat adalah orang yang pertama menerima hadits dari Rasul saw.
(1) Mursal al-Jali
Hadits yang tidak disebutkannya (gugur) nama sahabat
dilakukan oleh tabi’in besar.
(2) Mursal al-Khafi
Pengguguran nama sahabat dilakukan oleh tabi’in yang
masih kecil. Hal ini terjadi karena hadits yang diriwayatkan oleh tabi’in
tersebut meskipun ia hidup sezaman dengan sahabat, tetapi ia tidak pernah
mendengar sebuah hadits.
(d) Hadits Mu’dhal
hadits yang gugur rawinya, dua orang atau lebih,
berturut-turut, baik sahabat bersama tabi'i, tabi'i bersama tabi' al-tabi'in
maupun dua orang sebelum shahabiy dan tabi'iy.
(e) Hadits Mudallas
yaitu hadits yang diriwayatkan menurut cara yang
diperkirakan bahwa hadits itu tidak terdapat cacat.
2) Dha’if karena tiadanya syarat adil
(a) Hadits al-Maudhu’
Hadits yang dibuat-buat oleh seorang (pendusta) yang
ciptaannya dinisbatkan kepada Rasulullah secara paksa dan dusta, baik sengaja
maupun tidak.
(b) Hadits Matruk dan Hadits Munkar
Hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh
dusta (terhadap hadits yang diriwayatkannya), atau tanpak kefasikannya, baik
pada perbuatan ataupun perkataannya, atau orang yang banyak lupa maupun ragu.
3) Dha’if karena tiadanya Dhabit.
(a) Hadits Mudraj
hadits yang menampilkan (redaksi) tambahan, padahal
bukan (bagian dari) hadits
(b) Hadits Maqlub
hadits yang lafaz matannya terukur pada salah
seorang perawi, atau sanadnya. Kemudian didahulukan pada penyebutannya, yang
seharusnya disebutkan belakangan, atau mengakhirkan penyebutan, yang seharusnya
didahulukan, atau dengan diletakkannya sesuatu pada tempat yang lain.
(c) Hadits Mudhtharib
hadits yang diriwayatkan dengan bentuk yang berbeda
padahal dari satu perawi dua atau lebih, atau dari dua perawi atau lebih yang
berdekatan tidak bisa ditarjih.
(d) Hadits Mushahhaf dan Muharraf
Hadits Mushahhaf yaitu hadits yang perbedaannya
dengan hadits riwayat lain terjadi karena perubahan titik kata, sedangkan
bentuk tulisannya tidak berubah. Hadits Muharraf yaitu hadits yang perbedaannya
terjadi disebabkan karena perubahan syakal kata sedangkan bentuk tulisannya
tidak berubah.
4) Dha’if karena Kejanggalan dan kecacatan
(a) Hadits Syadz
hadits yang diriwayatkan oleh orang yang maqbul,
akan tetapi bertentangan (matannya) dengan periwayatan dari orang yang
kualitasnya lebih utama.
(b) Hadits Mu’allal
hadits yang diketahui ‘Illatnya setelah dilakukan
penelitian dan penyelidikan meskipun pada lahirnya tampak selamat dari cacat
5) Dha’if dari segi matan
(a) Hadits Mauquf
hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, baik
berupa perkataan, perbuatan, atau taqrirnya. Periwayatannya, baik sanadnya
bersambung maupun terputus.
(b) Hadits Maqthu
hadits yang diriwayatkan dari tabi’in dan
disandarkan kepadanya, baik perkataan maupun perbuatannya. Dengan kata lain,
hadits maqthu adalah perkataaan atau perbuatan tabi’in.
c) Kehujahan Hadits Dhoif
Khusus hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas berat
semacam Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh
digunakan, dengan beberapa syarat:
1) Level Kedhaifannya Tidak Parah
Ternyata yang namanya hadits dhaif itu sangat banyak
jenisnya dan banyak jenjangnya. Dari yang paling parah sampai yang mendekati
shahih atau hasan.
Maka menurut para ulama, masih ada di antara hadits
dhaif yang bisa dijadikan hujjah, asalkan bukan dalam perkara aqidah dan
syariah (hukum halal haram). Hadits yang level kedhaifannya tidak terlalu
parah, boleh digunakan untuk perkara fadahilul a’mal (keutamaan amal).
2) Berada di bawah Nash Lain yang Shahih
Maksudnya hadits yang dhaif itu kalau mau dijadikan
sebagai dasar dalam fadhailul a’mal, harus didampingi dengan hadits lainnya.
Bahkan hadits lainnya itu harus shahih. Maka tidak boleh hadits dha’if jadi pokok,
tetapi dia harus berada di bawah nash yang sudah shahih.
3) Ketika Mengamalkannya, Tidak Boleh Meyakini Ke-Tsabit-annya
Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita
tidak boleh meyakini 100% bahwa ini merupakan sabda Rasululah SAW atau
perbuatan beliau. Tetapi yang kita lakukan adalah bahwa kita masih menduga atas
kepastian datangnya informasi ini dari Rasulullah SAW.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Derajat suatu hadits itu memiliki beberapa
kemungkinan, bisa saja kita katakan shahih, hasan, ataupun dhaif itu tergantung
kepada 2 hal yaitu keadaan sanadnya dan keadaan perawinya. Akan tetapi oleh
para ulama telah diberikan kemudahan bagi para peneliti hadits untuk mengetahui
derajat hadits tersebut dalam kitab-kitab hadits seperti yang paling terkenal
adalah kitab “tahzibul kamal fi asmaail rijal” yang menerangkan tentang keadaan
perawinya, apakah dia itu pendusta, bid’ah, fasiq dan yang lainnya. Akan tetapi
semua ulama telah sepakat tentang keshahihan hadits yang dikeluarkan oleh Imam
Bukhari dan Imam Muslim sehingga kita tidak perlu lagi untuk meneliti atas
kedaan sanad dan perawinya akan tetapi yang mesti ingat hadits-hadits selain
dari imam bukhari dan imam muslim mesti kita telaah kembali akan keshahihannya.
0 comments:
Post a Comment