BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Perkembangan moral dan etika di
tengah-tengah masyarakat akhir-akhir ini semakin pesat. Tak sampai disitu saja,
perkembangan ini juga memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pola pikir
dan pilihan yang diambil oleh mereka, bentuk dan perkembangan moral dan etika
yang terjadi di masyarakat bermacam-macam dan salah satunya adalah
Euthanasia. Euthanasia merupakan suatu isu yang kompleks dan sangat
kontroversial, sehingga melibatkan banyaknya pertanyaan yang membingungkan dan
menimbulkan kubu yang pro dan kubu yang kontra.
Di dalam Al qur’an surat Al-Mulk ayat 2,
diingatkan bahwa hidup dan mati adalah di tangan Tuhan yang Ia ciptakan untuk
menguji iman, amalan, dan ketaatan manusia terhadap Tuhan, karena itu, islam
sangat memperhatikan keselamatan hidup dan kehidupan manusia sejak ia berada di
rahim ibunya sampai sepanjang hidupnya. Dan untuk melindungi keselamatan hidup
dan kehidupan manusia itu, islam menetapkan berbagai norma hukum perdana dan
perdata beserta sangsi – sangsi hukumannya, baik di dunia berupa hukuman had
dan qisas termasuk hukuman mati, diyat (denda), atau ta’zir, ialah hukuman yang
ditetapkan oleh ulul amr atau lembaga peradilan, nmaupun hukuman di akhirat
berupa siksaan Tuhan di neraka kelak. Karena hidup dan mati ditangan Tuhan,
maka islam melarang orang melakukan pembunuhan, baik terhadap orang lain maupun
terhadap dirinya sendiri.[1]
Setiap makhluk hidup, termasuk manusia
akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran,
kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya, dan diakhiri dengan
kematian.Dari berbagai siklus kehidupan di atas, kematian merupakan salah satu
yang masih mengandung misteri yang sangat besar.
كل
نفس ذائقة الموت ...... الآية (آل عمران:185)
“Tiap-tiap yang berjiwa
akan merasakan mati”
Sampai saat ini kematian merupakan
misteri yang paling besar, dan ilmu pengetahuan belum berhasil menguaknya. Satu
satunya jawaban tersedia di dalam ajaran agama. Kematian sebagai akhir
dari rangkaian kehidupan di dunia ini, merupakan hak dari Tuhan. Tidak ada
seorangpun yang berhak untuk menunda sedetikpun waktu kematiannya, termasuk
mempercepat waktu kematiannya.
B.
Rumusan
Masalah
a. Apa
pengertian euthanasia?
b. Bagaimana
hukum islam tentang euthanasia?
c. Bagaimana
hukum positif tentang euthanasia?
C.
Tujuan
Penulisan
a. Untuk
mengetahui pengertian euthanasia
b. Untuk
mengetahui hukum islam tentang euthanasia
c. Untuk
mengetahui hukum positif tentang euthanasia
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Euthanasia
Euthanasia secara bahasa berasal dari
bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan thanatos, yang berarti “kematian”.[2] Dalam
bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Menurut
istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan
yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat
kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang
kematiannya.[3]
B.
Macam
Macam Euthanasia
Dalam
praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu:[4]
1. Euthanasia
aktif
Euthanasia aktif adalah tindakan dokter
mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien
tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat
parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis
sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasanya
dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan
memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah
parah.
Contoh euthanasia aktif, misalnya ada
seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga
pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan
meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi
(overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi
menghentikan pernapasannya sekaligus.
2. Euthanasia
Pasif
Adapun euthanasia pasif, adalah tindakan
dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara
medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini
berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter
adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang
dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut
perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa
digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan
terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang
dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang
tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi.
Contoh euthanasia pasif, misalkan
penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma,
disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau, orang
yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat
mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya
dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya.
Menurut Deklarasi Lisabon 1981,
euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan merupakan hak bagi pasien yang
menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun dalam praktiknya dokter
tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua kendala. Pertama, dokter
terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankan
penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain
yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan
menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak pidana di negara mana pun.[5]
C.
Pandangan
Syariah Islam
Syariah Islam merupakan syariah sempurna
yang mampu mengatasi segala persoalan di segala waktu dan tempat. Berikut ini
solusi syariah terhadap euthanasia, baik euthanasia aktif maupun euthanasia
pasif.
1. Euthanasia
Aktif
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena
termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun
niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram,
walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil
dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan
pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri.
Misalnya firman Allah SWT :
و لا تقتلوا النفس التي حرم الله إلا بالحق....
الآية.(الأنعام:151)
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa
yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang
benar.” (QS Al-An’aam : 151)
و
ما كان لمؤمن أن يقتل مؤمنا إلا خطأ.... الآية. (النساء: 92)
“Dan tidak layak bagi seorang
mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak
sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)
و
لا تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما.... الآية. (النساء: 29)
“Dan janganlah kamu membunuh
dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa`
: 29).[6]
Dari
dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan
euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja
(al-qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya
dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi
qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah),
sesuai firman Allah :
يا
ايها الذين آمنوا كتب عليكم القصاص في القتلى.... الآية.(البقرة: 178)
“Telah diwajibkan atas kamu qishash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS Al-Baqarah : 178)
Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul)
menggugurkan qishash (dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan.
Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau
memaafkan/menyedekahkan.
Firman
Allah SWT :
فمن
عفي له من أخيه شيء فاتباع بالمعروف و أداء إليه بإحسان .... الآية.(البقرة:
178)
“Maka barangsiapa yang mendapat
suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan
cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang
memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (QS Al-Baqarah : 178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta
di mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting (khalifah), 30 ekor umur 3
tahun (hiqqah) dan 30 ekor berumur 4 tahun (jadzaah) berdasarkan hadits Nabi
riwayat An-Nasa`i.[7] Jika
dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya
adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau
12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak).
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang
sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian
dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah
(empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui
dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan
euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit
yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW
bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik
kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang
menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah
yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
“Telah ada diantara orang-orang
sebelum kamu seorang laki-laki yang mendapat luka, lalu keluh kesahlah ia. Maka
ia mengambil pisau lalu memotong tangannya dengan pisau itu. Kemudian tidak
berhenti-henti darahnya keluar sehingga ia mati. Maka Allah berfirman : hambaku
telah menyegerakan kematiannya sebelum aku mematikan. Aku mengharamkan surga
untuknya.” (HR Bukhari dan Muslim).[8]
2. Euthanasia
Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya
termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan
keyakinan dokter bahwa pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan
tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan
pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan
buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada
pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah
berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan
pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub
(sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat,
seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[9]
Dasar dari pada kewajiban berobat oleh sebagian
ulama adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah
Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka
berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW
memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu
hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan
kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :
الأصل
في الأمر للطلب
“Perintah itu pada asalnya adalah
sekedar menunjukkan adanya tuntutan.”
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya
menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa
tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain
justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits
lain itu membolehkan tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu
Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu
berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering
tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!”
Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika
tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu
berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya
auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah
agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR
Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat.
Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan
berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah
berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum
berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib.
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat
hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien.
Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, maka jika para dokter telah
menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak
menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan
sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah
termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak
tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi
pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak
akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun
akan segera tidak berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum
pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk
aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif
dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien setelah
matinya/rusaknya organ otak hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter.
Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat
dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai
tindakannya itu.
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter,
disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah
orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak
mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa
(Al-Hakim/Ulil Amri).
D.
Pandangan
Hukum Positif Tentang Euthanasia[10]
1. Menurut
Aspek Medis
Dalam bidang kedokteran, euthanasia
merupakan sebuah dilema yang menempatkan seorang dokter dalam posisi yang serba
sulit. Euthanasia berarti kematian yang membahagiakan atau mati cepat tanpa
derita. Dalam perkembangannya pengertian ini berkembang menjadi pembunuhan atau
pengakhiran hidup karena belas kasihan (mercy killing) dan membiarkan seseorang
untuk mati secara menyenangkan (mercy death).
Selain tanggung jawab medik, seorang
dokter harus dapat mempertanggung jawabkan semua perbuatannya terhadap pasien
menurut hukum yang berlaku. Para dokter harus menyadari bahwa euthanasia
ternyata memiliki muatan hukum dibandingkan dengan masalah teknis-medis
lainnya. Baik menurut Sumpah Dokter maupun Etika Kedokteran, euthanasia tidak
diperbolehkan untuk dilakukan. Dalam pasal 9, bab II (1969)Kode Etik Kedokteran
Indonesia tentang kewajiban dokter kepada pasien, disebutkan bahwa seorang
dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk
insani. Ini berarti bahwa menurut kode etik kedokteran, dokter tidak
diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan
dan pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi apabila pasien sudah dipastikan
mengalami kematian batang otak atau kehilangan fungsi otaknya sama sekali, maka
pasien tersebut secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih
berdenyut. Penghentian tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang
berpengalaman yang mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal
itu dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan dokter yang berpengalaman,
selain harus pula dipertimbangkan keinginan pasien, kelurga pasien, dan
kualitas hidup terbaik yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk
melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan
bukan mengakhiri hidup pasien.
2. Menurut
Aspek Hukum
Dari sudut hukum pidana KUHP
mengatur masalah euthanasia melalui beberapa pasal khususnya pasal 344 yang
sering disebut sebagai “pasal euthanasia”. Pasal ini berbunyi “barangsiapa
menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara
selama-lamanya 12 tahun” . Jika dokter membiarkan pasien meninggal atau
tidak melakukan suatu tindakan medis (euthanasia pasif), dokter dapat dituntut
berdasarkan pasal 304 KUHP. Pasal tersebut berbunyi:
“barang siapa dengan
sengaja menempatkan atau membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan ia wajib memberikan
kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana
penjara....”.
Sebaliknya jika dilakukan suatu tindakan
medis lalu pasien meninggal, dokter itu bisa dituntut karena menghilangkan
nyawa orang lain. Selain itu pasal 35 mengatakan
“barangsiapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana paling lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.”
“barangsiapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana paling lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.”
BAB
III
ANALISA
KELOMPOK
Euthanasia
secara moral, tidak dapat diterima dari perspektif dan etika Islam karena hal
ini menolak kedaulatan Allah atas hidup manusia sekaligus telah membuat manusia
dapat menentukan kematiannya sendiri, sedangkan seperti kita ketahui bahwa
Allah yang menciptakan manusia dan Dia pula yang berkenan atas hidup manusia
sehingga yang berhak untuk menentukan dan mengambil hidup manusia (kematian)
adalah Allah sendiri.
Sering
banyak orang menjadi salah persepsi bahwa euthanasia itu baik unutuk dilakukan
karena merupakan perbuatan kasih dan belas kasihan. Tetapi mereka ternyata
keliru, sebab tidak mungkin Tuhan mengajarkan manusia untuk saling mengasihi
bila pada akhirnya manusia jualah yang membunuh mereka, jika itu kita tetap
lakukan maka kita sama dengan orang yang tidak percaya Tuhan. Ketika kita
melihat orang yang sudah sekarat bertahun-tahun dan sangat menderita, beberapa
kelompok orang sering secara cepat mengambil keputusan karena merasa kasihan
dan mengambil tindakan yang menurut mereka baik agar orang tersebut tidak lagi
hidup dalam kondisi yang menderita, tindakan baik yang kebanyakan kita lakukan
yaitu meminta tolong dokter atau para medis untuk ‘membunuh’nya, hal itu juga
dipicu karena orang ini sudah terlalu menyusahakan keluarganya.
Jika
kita memang berpikir dan melakukan hal semacam itu, kita sama dengan
mengtuhankan diri kita sendiri sebagai ‘Tuhan’ yang dapat menentukan hidup atau
matinya orang ini. Pada dasarnya pihak-pihak yang menyetujui euthanasia dapat
dilakukan, beranggapan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak
untuk mengakhiri hidupnya dengan segera dan hal ini dilakukan dengan alasan
yang cukup mendukung yaitu alasan kemanusian. Dengan keadaan dirinya yang tidak
lagi memungkinkan untuk sembuh atau bahkan hidup, maka ia dapat melakukan
permohonan untuk segera diakhiri hidupnya. Ini merupakan tindakan dan pola
pikir yang salah dari pihak yang mendukung Eutanasia sebab seperti yang kita
ketahui bahwa setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya,
karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa
diganggu gugat oleh manusia.
Selain
itu, salah satu alasan mengapa melakukan euthanasia adalah ketika suatu
keluarga merasakan ketidaksanggupannya dalam membayar biaya perawatan untuk si
penderita dan membiarkannya hidup hanyalah membuang-buang uang saja. Apakah
nilai kehidupan ini bisa dibayarkan oleh sejumlah uang? Hidup dan mati
seseorang tidak dapat diukur dengan uang, karena kehidupan kita lebih berharga
daripada uang atau apapun juga, uang itu berasal dari hidup kita dan kita yang
menghasilkan uang, uang itu bisa saja habis dan musnah karena dipakai atau
digunkan oleh kita, namun Tuhan Allah menciptakan kita didunia ini untuk hidup
bukan untuk mati. Jadi selama si pasien masih memiliki kesempatan untuk
hidup mengapa orang lain justru ingin mengakhiri hidupnya. Oleh karena itulah
hidup kita ini lebih berharga daripada uang dan tak bisa diukur dengan nilai
apapun.
Seseorang
yang menderita penyakit yang sudah tak ada harapan lagi tersebut sebenarnya
tidak pernah ingin menghadapi situasi seperti itu, dan ketika pihak keluarga
ingin melakukan euthanasia, maka keputusan ini hanya akan mempengaruhi kondisi
psikologis pasien. Karena ketika ia diperhadapkan pada pilihan hidup atau mati,
dan orang-orang sekitarnya lebih ingin ia untuk mati, maka pasien tersebut akan
merasa tertolak oleh keluarga dan kondisinya akan semakin parah karena
depresi. Sebenarnya, jika memang merasa kasihan, tindakan kasihan itu
tidaklah dilakukan dengan cara menghabisi hidupnya. Karena kasih sayang itu
bukan dengan cara membunuh.
Euthanasia
ini dapat dilakukan dengan cara memberhentikan alat-alat medis yang fungsinya
menunjang kehidupan pasien. Menurut kami, mengapa alat yang menunjang tersebut
harus dilepas dari pasien kalau kehidupannya bisa didukung dengan alat
tersebut? Alat-alat yang dilepas dari pasien hanya membuatnya akan mati dan itu
sama saja dengan membunuhnya, sehingga alat tersebut tidak perlu dilepas selama
alat itu masih menunjang diri pasien tersebut untuk hidup. Mengenai birokrasi
rumah sakit yang sering kali menunda tindakan penyembuhan jika administrasinya
belum selesai, menurut kami hal tersebut bukanlah tindakan euthanasia, karena
euthanasia adalah suatu bentuk kematian yang disengaja agar tidak merasakan
sakit, sedangkan penundaan tindakan pengobatan oleh rumah sakit, bukanlah
bertujuan untuk memberikan kematian yang “nyaman”. Masalahnya disini adalah
dokter belum bertanggungjawab atas pasien sebelum pasien tersebut sudah berada
didepannya, jadi selagi pasien masih berurusan dengan birokrasi rumah sakit,
pasien masih tanggungan keluarga. Untuk mengurangi hal-hal seperti ini,
pemerintah Indonesia harus semakin ketat terhadap peraturan hukum yang terdapat
pada pasal 304 dan 344 KUHP, dimana penundaan pengobatan akibat
administrasi yang belum selesai yang adalah suatu tindakan yang disengaja, bisa
berkurang. Seharusnya, administrasi bisa dilakukan setelah pasien ditangani
agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Jadi
menurut kami, euthanasia merupakan salah satu praktek kedokteran yang tidak
bermoral. Jika euthanasia dilakukan bedasarkan permintaan pasien, kita perlu
menyadari bahwa tidak seorang pun yang dapat menentukan kematianya. Secara
tidak langsung permintaan tersebut sama dengan bunuh diri. Jika euthanasia
dilakukan dengan alasan untuk mengurangi beban penderitaan pasien atau alasan
ekonomi keluarga yang tidak mampu, tentu saja hal ini melanggar hak asasi si
pasien. sPengakhiran kehidupan tanpa sepengetahuan pasien sudah termasuk
dalam kategori tindak pidana pembunuhan. Sesuai dengan sumpahnya, seorang dokter
seharusnya berusaha untuk mempertahankan kehidupan pasien sampai batas akhir
kesanggupannya. dalam kode etik kedokteran (1969) juga dinyatakan bahwa dokter
harus mengerahkan kepandaian dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan
memelihara hidup, tetapi tidak dengan cara mengakhiri hidup si pasien.
BAB
IV
KESIMPULAN
Berdasarkan
hasil pemaparan makalah diatas, dapat disimpulkan bahwa Euthanasia tidak boleh
dilakukan didunia Kedokteran maupun didalam kehidupan masyarakat karena hal
tersebut melanggar Kode Etik Kedokteran dan melanggar KUHP didalam masyarakat.
Disamping fakta bahwa Euthanasia itu dapat membantu masayarakat dalam memiliki
hak dan kewajiban untuk mengakhiri kehidupan orang-orang yang mengalami koma
yang tidak berpengharapan. Akan tetapi, hal penting yang perlu diingat dan
perlu diperhatikan juga adalah bahwa tindakan Euthanasia itu sama dengan
melakukan tindak pembunuhan dan mencabut hak hidup seseorang. Karena belum
tentu orang-orang yang berada dalam kesakitan yang hebat dan menginginkan
kematian sungguh-sungguh mengetahui apa yang dikehendakinya. Sebagai manusia
yang berpikir kritis kita harus ingat bahwa kita adalah manusia ciptaan Tuhan,
yang telah diberikan akal dan budi agar mampu mengembangkan secara maksimal apa
yang telah diberikanNya kita dengan kreatif dan mampu mengatur diri kita
sehingga tidak menyalahgunakan apa yang telah diberikanNya kepada kita untuk
melakukan hal-hal yang tidak bertanggung jawab yang bertentangan dengan moral
dan etika, seperti membunuh orang dengan cara apapun.
Oleh
karena itu, kita sebagai manusia yang memiliki Critical Thinking, kita perlu
menolak Euthanasia ini, sebab ketika kita menyetujui hal ini, kita sama saja
dengan orang yang tidak beragama dan tidak memiliki moral serta etika yang baik
yang menginginkan kematian dan pembunuhan terhadap orang lain.
DAFTAR
PUSTAKA
As’ad,
Aliy, Drs. H. 1979. Tarjamah Fathul Mu’in. Kudus. Menara Kudus
Hasan,
M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer
Hukum
Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Qordhawi,
Yusuf, DR.. 2003. Halal Haram dalam Islam. Surakarta. Era Intermedia
Utomo,
Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer.
Jakarta
:
Gema Insani Press.
Zuhdi,
Masjfuk. 1996. Masail Fiqhiyah. . Jakarta : PT. Gunung Agung
http://blog.wiemasen.com/2009/02/25/hukum-euthanasia/
[1] Zuhdi, Masjfuk. 1996. Masail Fiqhiyah. . Jakarta : PT. Gunung
Agung. hal. 161
[2] Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah
Kontemporer. Jakarta
:
Gema Insani Press. Hal. 177
[3] Hasan, M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada
Masalah-Masalah Kontemporer
Hukum Islam. Jakarta : RajaGrafindo Persada. Hal. 145
[4] Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah
Kontemporer. Jakarta
: Gema Insani Press. Hal. 178
[5] Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah
Kontemporer. Jakarta
:
Gema Insani Press. Hal. 178
[6] DR.Yusuf Qordhawi. 2003. Halal Haram dalam Islam. Surakarta. Era
Intermedia. hal. 459
[7] Drs. H. Aliy As’ad. 1979. Tarjamah Fathul Mu’in. Kudus. Menara Kudus.
hal. 268
[8] Zuhdi, Masjfuk. 1996. Masail Fiqhiyah. . Jakarta : PT. Gunung
Agung. hal. 163
[9] Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah
Kontemporer. Jakarta
:
Gema Insani Press. hal. 180
[10]
http://blog.wiemasen.com/2009/02/25/hukum-euthanasia
0 comments:
Post a Comment