BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Humanisme
berarti martabat (dignity) dan nilai
(value) dari setiap manusia, dan
semua upaya untuk meningkatkan kemampuankemampuan alamiahnya secara penuh.
Sementara, Renaissance merupakan
terjemahan dari bahasa Italia, rinascimento
berarti kelahiran kembali, kemudian berarti masa peralihan antara abad
pertengahan ke abad modern yang ditandai dengan lahirnya berbagai kreasi baru
yang dilhami oleh kebudayaan Eropa klasik (Yunani dan Romawi) yang lebih bersifat
dunia. Dengan pendekatan historis dan metode content analysis, tulisan ini menyimpulkan bahwa kemunculan humanisme adalah untuk mengembalikan
semangat dan kebebasan manusia dalam berkreasi seperti yang pernah terjadi pada
masa Yunani dan Romawi kuno, sementara, Renaissance
dilihat dari wilayah moral, mendatangkan malapetaka, karena aturan-aturan moral
lama tidak lagi dihargai.
Pada abad pertengahan, pemikiran manusia memasuki
periode yang sangat lama. Kira-kira 1500 tahun. Pada dasarnya filsafat pada
periode ini dipengaruhi oleh Kristen. Selama periode yang panjang ini, filsafat
boleh dikatakan tidak banyak menghasilkan penemuan. Pemikiran seperti direm.
Yang mengeremnya adalah orang-orang Kristen atas nama agama Kristen. Akal
dikekang dan dikungkung secara keterlaluan oleh agama Kristen. Periode ini
sering disebut periode skolastik, filsafatnya disebit fiolsafat skolastisisme. Periode
ini seolah-olah merupakan periode “balas dendam” terhadap merajalelanya akal
pada periode sebelumnya. Periode ini juga disebut masa kegelapan bagi Eropa.
Pada abad pertengahan, manusia sepenuhnya berada
dalam posisi pasif dan merasa tidak memiliki daya apapun tanpa ada kekuatan
gaib. Bahkan untuk menyelamatkan diri dari kejahatan pun tidak ada jalan lain
untuk mereka kecuali mengandalkan peninggalan-peninggalan suci. Hal ini
terlihat bahwa manusia pada abad pertengahan ini, meyakini dirinya berada
ditengah konflik yang terlihat dalam berbagai bentuk, antara lain terjadi dalam
bentuk pertikaian antara dua ajaran moral, satu berbasiskan alam natural dan yang
lain berbasiskan ketuhanan. Kadang juga dalam bentuk antara filsafat rasional dan filsafat samawi, dan akhirnya masyarakat abad
pertengahan menyaksikan dirinya berada ditengah konflik antara institusi dunia
dan institusi gereja. Dua wilayah agama dan dunia terpisah total satu dengan
yang lain, sehingga tidak ada peluang ekspansi satu terhadap yang lain, atau
pembauran antar keduanya. Seorang manusia kalau tidak “melangit” haruslah
membumi, dengan kata lain kalau tidak meyakini kekuasaan alam gaib terhadap
segala urusan hidupnya, maka dia harus memutuskan hubungannya dengan Tuhan dan
ruh-ruh kudus. Jika menghargai jasmani dan urusan materinya, maka dia bukan
lagi seorang rohaniawan, berarti telah memutuskan hubungan dengan Tuhan. Dengan
demikian, kerangka berpikir yang dominan pada abad pertengahan dan tekanan kuat
para elit gereja yang menganggap dirinya pengawas tatanan yang menguasai dunia
dan telah mengintrogasi ideology para ilmuan dan menyeret mereka kepengadilan
serta menganggap kegiatan ilmiah sebagai campur tangan setan, faktor-faktor
inilah antara lain yang menjadi latar belakang munculnya renaissance yang telah
melahirkan teriakan protes terhadap tradisi yang dominan pada abad pertengahan.
Islam mempunyai pandangan yang unik dan komprehensif tentang kemanusiaan (Humanisme). Pandangan Islam mengenai
nilai-nilai kemanusiaan diawali dengan semangat Pembebasan melalui konsep
Tauhid. Yaitu pembebasan manusia dari segala seseuatu selain kepada Allah. Menurut Nurcholish Majid Islam mempunyai konsep
dan efek konsep dari pembebasan Tauhid.
Kedatangan agama Islam sebagai agama pembebas ketertindasan manusia dari
penghambaan dunia diungkapkan oleh Ali Syariati.
Akhirnya datanglah Islam, mata rantai terakhir yang
menyempurnakan agama–agama dalam sejarah, yang tampil dalm ajaran Tauhid dan kemenangan,
yang menurut seorang prajurit Islam adalah “mengajak manusia pindah dari
kerendahan bumi menuju ketinggian langit dan dari penyembahan manusia atas
manusia kepada penyembahan manusia kepada Tuhan Semesta Alam.
2. Rumusan
Masalah
Berdasarkandari uraian tersebut di atas, dalam hal
ini akan membahas tentang:
A. Apa
yang dimaksud dengan humanism di Islam dan di Barat?
B. Bagaimana
Renaissance di Eropa?
C. Bagaimana
kelahiran filsafat modern?
3. Tujuan
Tujuan dari makalah secara garis besar tidak lain
adalah untuk menambah wawasan para pembaca tentang apa saja yang menyangkut
pembahasan
A. Humnisme di Barat dan di
Islam.
B. Renaissance di
Eropa
C. Kelahiran
filsafat modern
4. Manfaat
Manfaat dari makalah ini tidak jauh
yaitu agar para pembaca mengetahui:
A. Bagaimana
humanism di Barat dan di Islam
B. Renessaince
di Eropa
C. Kelahiran
filsafat modern
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Humanisme Dalam Islam dan di Barat
1. Pengertian
Humanisme
Pada
dasarnya istilah humanisme mempunyai
riwayat dan pemaknaan yang kompleks. Humanisme
sebagai sebuah istilah mulai dikenal dalam wacana filsafat sekitar abad ke 19.
Menurut K. Bertens, istilah humanisme
pertama kali digunakan dalam literature di Jerman, sekitar tahun 1806 dan di
Inggeris sekitar tahun1860. Humanisme
diawali dari term humanis atau humanum (yang manusiawi) yang lebih jauh
dikenal, yaitu mulai sekitar masa akhir zaman skolastik di Italia. Istilah humanis (humanum) tersebut dimaksudkan
untuk menggebrak kebekuan gereja yang memasung kebebasan, kreatifitas, dan
nalar manusia yang diinspirasi dari kejayaan kebudayaan Romawi dan Yunani.
Gerakan humanis berkembang dan
menjadi cikal bakal lahirnya renaissance
di Eropa. Berdasarkan catatan sejarah, humanisme
memperoleh pengakuan pada abad ke- 14 di Italia melalui pemajangan berbagai
literature dan ekspresi seni Yunani dan Romawi pra Kristen, yang ditemukan
kembali oleh para pastur, di dinding-dinding museum. Ciri khas humanisme adalah
sikap keberagamaan yang inklusif. Hal ini dapat dilihat dalam berbagai karya
Plato dan Aristoteles yang mengusung kandungan moral dari Injil. Puncak dari humanisme jenis ini dicapai oleh
Erasmus, seorang sarjana Belanda dari Rotterdam pada abad ke16. Model humanisme yang kedua dinamakan Neo Humanisme. NeoHumanisme berkembang pada abad ke-18 ketika para seniman, filsuf
dan kaum intelektual melirik kembali masa Yunani dan Romawi klasik. Konsep humanisme dipandang memiliki kesamaan
dengan konsep Yunani kuno tentang bentuk tubuh dan pikiran yang harmonis. Dari
permulaan abad ke-19 dan seterusnya, humanisme
dipandang sebagai prilaku social politik yang ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan lembaga-lembaga politik dan hukum yang sesuai dengan ide tentang martabat
kemanusiaan. Humanisme sebagai sebuah
term menuai berbagai pemaknaan, tergantung dari berbagai sudut pandang dan
tinjauan yang digunakan. A. Lalande, menyebutkan beberapa pengertian humanisme, diantaranya ada yang saling
bertentangan. Salah satu pengertian humanisme
adalah gerakan humanis di Eropa yang
memandang manusia dalam perspektif “manusiawi” belaka yang bertentangan dengan
perspektif religious (agama). Dia
juga menyebutkan pengertian humanisme
sebagai pandangan yang menyoroti manusia menurut aspek-aspek yang lebih tinggi
(seni, ilmu pengetahuan, moral, dan agama) yang bertentangan dengan aspek-aspek
yang lebih rendah dari manusia. Ali Syariati menyebutkan pengertian humanisme sebagai himpunan
prinsip-prinsip dasar kemanusiaan yang berorientasi pada keselamatan dan
kesmpurnaan manusia.
Secara
umum, humanisme berarti martabat (dignity) dan nilai (value) dari setiap manusia, dan semua upaya untuk meningkatkan
kemampuan-kemampuan alamiahnya secara penuh. Kemuliaan manusia sendiri terletak
dalam kebebasannya untuk menentukan pilihan sendiri dan dalam posisinya sebagai
penguasa atas alam. Gagasan ini mendorong munculnya sikap pemujaan tindakan
terbatas pada kecerdasan dan kemampuan individu dalam segala hal saat ini,
konsep humanism tidak lagi
dihubungkan dengan orang-orang Eropa, yakni dengan kebudayaan Romawi dan Yunani
Kuno. Humanisme berkembvang menjadi
gerakan lintas budaya dan universal, dalam arti berbagai sikap dan kualitas
etis dari lembaga-lembaga politik yang bertujuan membentengi martabat manusia.
2. Humanism
dalam Islam
Konsepsi berbagai masyarakat dan ideologi dunia
mengenai humanism terbadi dengan
berbagai macam aliran dan pandangan yang berbeda. Secara garis besar, konsepsi
itu terbagi dalam dua kelompok yaitu:
a.
kelompok yang mengagungkan manusia
secara berlebihan sehingga mendewakannya. Pandangan yang mengagungkan manusia
secara berlebihan misalnya dijumpai dalam peradaban Yunani kuno. Peradaban itu
mengemabangkan ajaran humanism yang
kuat, dibangun atas dasar naturalism yang berlebihan, sehingga terjadi pendewaan
terhadap manusia.
b. konsep
merendahkan manusia sebagai makhluk yang hina dan berdosa. Yang menganggap
rendah terhadap manusia misalnya kelompok masyarakat yang selalu menonjolkan
pandangan bahwa manusia itu adalah makhluk yang lemah, penuh dosa, hina dan
pandangan negatif lain yang tidak terpuji.
Humanisme dalam
Islam ditegakkan di atas dasar kemanusiaan yang murni diajarkan al-Qur’an.
Konsepsi Islam mengajarkan pada umatnya, bahwa Allah SWT yang Maha Pengasih dan
Maha Penyayang tidaklah menciptakan manusia dengan sia-sia. Dia telah
mengaruniakan panca indera, akal dan fikiran serta menjadikan manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya, sempurna lahir dan bathin. Humanisme dalam ajaran
Islam tidaklah bersifat ekstrim seperti kedua pandangan di atas. Ia tidak
mendewakan manusia dan juga tidak merendahkannya, Islam menempatkan manusia
pada proporsi sebenarnya.
Manusia merupakan makhluk yang menerima amanah Tuhan
agar dapat mengelola alam semesta bagi kesejahteraan bersama. Dengan demikian
manusia menjadi makhluk yang paling baik dan sempurna, apabila melaksanakan
amanah tersebut. Sebaliknya ia akan menjadi makhluk yang hina apabila
menghianati amanat itu dan berbuat kerusakan di muka bumi.
Menurut pandangan Islam, mulia atau rendahnya
menusia tidak terletak pada wujudnya semata sebagai makhluk Tuhan, akan tetapi
terletak juga bagaimana ia dapat menjadikan dirinya bermanfaat bagi sesama
makhluk. Apabila manusia beriman kepada Allah dan berbuat kebajikan sehingga
mereka mampu berbuat banyak dalam mengelola alam maka ia menjadi makhluk
terbaik. Sebaliknya apabila manusia ingkar dan berbuat kerusakan di muka bumi
serta menghianati amanat yang luhur itu akan tercampak dalam kehinaan dan
kenistaan.
Amanat Allah yang diberikan kepada manusia adalah
merupakan landasan yang kokoh baginya agar berkiprah dalam kehidupan ini
sehingga menjadi makhluk yang terbaik. Manusia sajalah yang dapat menduduki
derajat yang tinggi itu, karena tidak ada makhluk lain yang dapat melaksanakan
amanat yang agung itu. Humanisme
dalam Islam didasarkan pada prinsip-prinsip yang nyata, fitri dan rasional. Ia melarang mendewakan manusia atau makhluk
lain dan juga tidak merendahkan manusia sebagai makhluk yang hina dan berdosa.
Humanisme
dalam ajaran Islam didasarkan pada hubungan sesama umat manusia, baik hubungan
sesama muslim ataupun hubungan dengan umat lainnya. Humanisme Islam didasarkan pada : Saling mencintai, kasih sayang
dan menjaga kebersamaan.
Allah swt. Berfirman: “Sesungguhnya orang-orang
mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan
bertaqwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat”. (Q.S. al-Hujarat : 10).
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan mereka,
kecuali bisikan dari orang yang menyuruh manusia bersedekah, atau berbuat yang
ma’ruf atau mengadakan perdamaian diantara manusia”. (Q.S. al-Nisa : 114).
Berpegang teguh pada agama Allah, tidak berselisih,
tidak bercerai berai dan selalu menghindari permusuhan. “Dan berpegang teguhlah
kepada tali (agama) Allah dan jangan bercerai berai.”(Q.S. Ali Imran : 103).
“Janganlah kamu saling bermusuhan yang menyebabkan
kamu menjadi lemah dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah.” (Q.S. al-Anfal :
46).
3. Sejarah
Humanisme
Erasmus
adalah salah seorang pelopor humanisme
yang telah melakukan reformasi keagamaan dalam menghadapi eksklusivitas dan
monopoli para elit gereja. Dia berjuang keras untuk menghapus peranan para
penguasa gereja sebagai perantara antara Tuhan dan manusia. Dia mengatakan
“jalan itu mudah dan terbuka untuk siapa saja. Bekal perjalanan kalian hanya
jiwa yang bersih dan lapang serta adanya keimanan yang cemerlang dan murni
dalam hati kalian”. Erasmus berpendapat bahwa kitab suci harus disosialisasikan
kepada masyarakat dengan bahasa yang mudah. Dia mengecam keras penyimpangan-penyimpangan
theologis yang dilakukan oleh para elit gereja. Dari sisi lain Erasmus juga
berusaha menciptakan ikatan yang erat antara era klsik dan ajaran-ajaran
Kristen. Ia mengatakan bahwa “bukankah filsafat Al-Masih yang disebutnya
sendiri sebagai kelahiran kembali, tidak lain adalah pengembalian fitrah
manusia yang pada zaman azali sudah diciptakan dengan bentuk yang sesuai.
Beliau juga mengatakan bahwa ajaran-ajaran era klasik menunjukkan kesucian
fitrah manusia. Karena itu tidak sepatutnya ajaran-ajaran itu dihindari dengan
alasan mengandung politheisme. Erasmus termasuk pencetus pandangan kompromisasi
atau pandangan tentang toleransi. Pada abad-abad pertengahan, manusia
diposisikan sebagai makhluk yang pasif dan tak punya ikhtiar apapun di depan
para elit gereja. Akibatnya, pada era renaissance
lahirlah sebuah gerakan dengan misi mengembalikan kebebasan manusia yang telah
dinistakan. Mula-mula gerakan ini memperioritaskan reformasi keagamaan, dan
setelah beberapa lama secara ekstrim gerakan ini menentang segala sesuatu yang
dipaksakan dengan atas nama agama. Pencorengan citra agama yang dilakukan para
penguasa gereja abad pertengahan telah menimbulkan sebuah gerakan yang bernama humanisme yang bermula pada era renaissance, sebuah gerakan yang
menganggap kebahagiaan manusia hanya bisa dicapai dengan kembali kepada era klasik.
Kaum humanis meyakini bahwa manusia
pada era klasik telah mengandalkan potensi-potensi wujudnya tanpa keterikatan
kepada agama, gereja, dan para penguasa gereja. Jalan kembali kepada era klasik
bisa ditempuh melalui perhatian kepada kebudayaan dan kesusastraan klasik. Kaum
Humanis memandang penekanan kepada
ilmu logika dan ilmu-ilmu teoritas seperti ilmu metafisik sebagai sikap yang
kurang patut. Mereka hanya berminat kepada bidang-bidang yang berfungsi
langsung dengan kehidupan masyarakat, seperti retorika dan cabang-cabangnya
termasuk politik, sejarah dan syair. Selain itu, mereka juga tertarik kepada
bidang dialektika atau seni dialog. .secara umum, kaum humanis terikat kepada pemikiran mengenai kedudukan dan potensi
manusia di dunia tanpa mempertimbangkan nasib manusia di alam azali. Pada masa
kemunculan humanisme, dalam waktu
singkat karya-karya sastra dan filsafat Yunani klasik sudah diterjemahkan ke
dalam bahasa Latin. Terjemahan-terjemahan ini memiliki kecermatan yang lebih
tajam ketimbang terjemahan yang dilakukan pada abad ke-12M
dan 13M.
Guvarino
menerjemahkan karya Strabon dan Plotarckh ke dalam bahasa Latin. Travarsory
menerjemahkan karya-karya Divagnos Lairitos, Valla menerjemahkan karya-karya
Herodotus, Tosilid, dan Iliad Homer, Proti menerjemahkan karya-karya
Polybius,danVicino menerjemahkan karya-karya Plato dan Platinus. Di antara
sekian karya-karya klasik itu, karya-karya Plato yang paling banyak memukau
para humanis. Mereka mengapresiasi dan cemburu menyaksikan kebebasan
orang-orang Yunani zaman Socrates yang bisa dengan leluasa mengupas berbagai
persoalan agama dan politik yang paling sensitif. Carlo Masopini sedemikian
keras mengapresiasi kebudayaan klasik era politis sampai-sampai dia berangan
untuk berpaling dari keKristenan.
4. Tokoh-tokoh
Humanisme
Tokoh humanis Italia yang paling berkarya dan
kontraversial ialah Pod Ju Bratcolini yang menulis surat-surat kepada Paus Martin
V untuk melakukan pembelaan sengit terhadap dogma-dogma gereja. Tetapi kemudian
dalam sebuah pertemuan eksklusif dengan segenap karyawan istana Paus, dia tak
segan-segan menertawakan keyakinan-keyakinan Kristen. Dia menulis surat-suratnya
dengan bahasa Latin yang tidak fasih namun memikat. Lewat surat-surat ini ia mencemooh
ketidaksucian para ruhaniwan. KeKristenan, baik dari aspek thelogi maupun
moral, sudah kehilangan pengaruhnya terhadap sebagian besar kaum humanis Italia. Kebebasan berpikir dan
aktifitas masyarakat Yunani atau masyarakat Romawi zaman Augustine semakin
bangkit kecemburuan mayoritas kaum humanis sehingga menggungcangkan
keyakinan-keyakinan mereka sebelumnya kepada prinsip-prinsip Kristen yang
menyangkut kerendahan diri, hasrat kepada dunia, dan ketakwaan. Mereka sendiri
keheranan mengapa jiwa, raga, dan akal mereka harus tunduk kepada komando gereja,
sementara orang-orang gereja sendiri bersenang-senang dan memuja dunia. Bagi
kaum humanis, selang waktu sepuluh
abad antara Costantine dan Dante merupakan masa yang tragis dan penyimpangan
dari jalan yang benar. Legenda mengenai Santa Maria dan orang-orang suci
lainnya terhapus dari benak mereka untuk kemudian digantikan dengan lagu-lagu
dua jenis Horace, sedangkan gereja-gereja dengan segala kemegahannya mereka
anggap sebagai Barbarisme. Inilah secara umum sikap kaum Humanis dimana keKristenan seakan-akan merupakan mitos.
Hal ini dapat dilihat bahwa
dimata sebagian kaum humanis, agama dan
pencerahan pemikiran merupakan dua kutub yang saling bertentangan. Agama adalah
milik masyarakat awam, sedangkan bagi para pemikir, kepatuhan kepada agama merupakan
prilaku yang menyalahi kebebasan berpikir. Mereka bukannya melenyapkan bencana
akibat penyalah gunaan agama yaitu kerakusan, despotism (kezaliman) system
gereja yang telah membendung nilai, ikhtiar, dan kebebasan manusia abad
pertengahan, tetapi malah sekaligus penyerangan mencabut akar-akar agama dan keberagamaan.
Sebagian besar kaum humanis sudah
tidak lagi berpikir tentang alam transcendental, karena mengira pahala hanya
terbatas pada kehidupan dunia, kaum humanis
berusaha membuat patung-patung orang-orang yang sukses sebagai hadiah untuk
mereka. Oleh karena itu, seni humanistic
banyak mengacu kepada apa yang disaksikan dan jarang sekali memperlihatkan
hasrat kepada ide-ide yang gaib dan tidak tampak oleh mata. Dengan kata lain,
seni humanistic lebih merupakan seni
realism yang tidak ada hubungannya dengan hakikat. Dari penjelasan tersebut
tampak bahwa gerakan humanistic merupakan manifestasi dari perlawanan dan
protes para cendekiawan Italia terhadap pemerintahan dictatorial para elit gereja
dan kaum feodalis
B. Renaissance
di Eropa: gerakan ilmu dan kematian filsafat
1. Pengertian
Renaissance
Renaissance secara etimologi berasal dari bahasa Perancis yaitu renaissance yang merupakan terjemahan
dari kata Italia rinascimento, maksudnya kelahiran kembali. Secara bebas kata Renaissance dapat diartikan sebagai masa
peralihan antara abad pertengahan ke abad modern yang ditandai dengan lahirnya
berbagai kreasi baru yang dilhami oleh kebudayaan Eropa klasik (Yunani dan Romawi)
yang lebih bersifat dunia. Periode ini dipandang sebagai penemuan kembali cerahnya
peradaban Yunani dan Romawi yang dianggap sebagai “klasik” ketika keduanya
mengalami masa keemasan. Pengertian riilnya adalah manusia mulai memiliki
kesadaran-kesadaran baru yang mengedepankan nilai dan keluhuran manusia.
Suasana dan budaya berpikirnya memang melukiskan “kembali” kepada semangat
awal, yaitu semangat filsafat Yunani kuno yang mengedepankan penghargaan
terhadap kodrat manusia itu sendiri. Zaman ini lebih merupakan gerakan
kebudayaan dari pada aliran filsafat. Keluhuran dan kehebatan manusia tampak
dalam ungkapan-ungkapan seni hasil karya manusia. Politik tidak lagi dipikirkan
dalam kaitannya dengan iman dan agama, tetapi dengan politik itu sendiri, sebab
politik mempunyai etika dan moralnya sendiri. Etika politik adalah etika
kekuasaan, artinya tunduk pada pertimbangan-pertimbangan kestabilan dan
keselamatan Negara, bangsa, pemerintahan dan kekuasaan. Bila abad pertengahan
memegang teguh konsep ilmu pengetahuan sebagai rangkaian argumentasi, jaman renaissance merombaknya dengan paham
baru, yaitu bahwa ilmu pengetahuan itu adalah soal eksprimentasi. Pembuktian
kebenaran bukan lagi pembuktian argumentative-spekulatif,
melainkan eksprimental-matematis-kalkulatif.
Di sini filsafat memegang fungsinya yang baru yaitu meletakkan dasar-dasar
bangunan pengembangan aneka ilmu alam atau pasti yang merintis hadirnya
teknologi-teknologi seperti yang kita nikmati sekarang ini.
2. Latar belakang lahirnya Renaissance
Humanisme dan renaissance
adalah dua gerakan yang tidak bisa dipisahkan, dan mempunyai keterkaitan yang
erat.Humanisme bertujuan untuk
menggebrak kebekuan gereja yang memasung kebebasan, kretifitas dan nalar
manusia, sedangkan renaissance adalah
pendobrakan manusia untuk setia dan konstan dengan jati dirinya, dengan kata lain
manusia mulai memiliki kesadaran-kesadran baru yang mengedepankan nilai dan keluhuran
manusia.
Latar belakang lahirnya Renaissance adalah Eropa mengalami masa
kegegelan karena kepentingan pemikiran yang dikusai oleh para pemimpin Gereja. Middle Age merupakan
zaman dimana Eropa sedang mengalami masa suram. Berbagai kreativitas sangat
diatur oleh gereja. Dominasai gereja sangat kuat dalam berbagai aspek
kehidupan. Agama Kristen sangat mempengaruhi berbagai kebijakan yang dibuat
oleh pemerintah. Seolah raja tidak mempunyai kekuasaan, justru malah gereja lah
yang mengatur pemerintahan. Berbagai hal diberlakukan demi kepentingan gereja,
tetapi hal-hal yang merugikan gereka akan mendapat balasan yang sangat kejam.
Contohnya, pembunuhan Copernicus mengenai teori tata surya yang menyebutkan
bahwa matahari pusat dari tata surya, tetapi hal ini bertolak belakang dari
gereja sehingga Copernicus dibunuhnya.
Pemikiran
manusia pada Abad Pertengahan ini mendapat doktrinasi dari gereja. Hidup
seseorang selalu dikaitkan dengan tujuan akhir (ekstologi). Kehidupan manusia
pada hakekatnya sudah ditentukan oleh Tuhan. Maka tujuan hidup manusia adalah
mencari keselamatan. Pemikiran tentang ilmu pengetahuan banyak diarahkan kepada
theologi. Pemikiran filsafat yang berkembang pada masa itu sanagat di pengaruhi
oleh gereja sehingga lahir filsafat scholastic, yaitu suatu pemikiran filsafat
yang dilandasi pada agama dan untuk alat pembenaran agama. Oleh karena itu
disebut Dark Age atau Zaman Kegelapan.
Dengan
adanya berbagai pembatasan yang dilakukan pihak pemerintah atas saran dari
gereja maka timbulah sebuah gerakan kultural, pada awalnya merupakan
pembaharuan di bidang kejiwaan, kemasyarakatan, dan kegerejaan di Italia pada
pertengahan abad XIV. Sebelum gereja mempunyai peran penting dalam
pemerintahan, golongan ksatria hidup dalam kemewahan, kemegahan, keperkasaan
dan kemasyhuran. Namun, ketika
dominasi gereja mulai berpengaruh maka hal seperti itu tidak mereka peroleh
sehingga timbullah semangat renaissance. Gerakan ini juga merupakan keinginan
ksatria untuk mengembalikan kejayaan mereka seperti masa lalu, sehingga mereka
dapat hidup dengan penuh kehormatan dan kejayaaan.
Zaman renaissance ini sering juga di sebut
sebagai zaman humanisme. Maksud
ungkapan ini adalah manusia diangkat dari abad pertengahan. Pada abad
pertengahan itu manusia dianggap kurang dihargai sebagai manusia. Kebenaran
diukur berdasarkan ukuran dari gereja (kristen), bukan menurut ukuran yang
dibuat oleh manusia. Humanism menghendaki
ukuran haruslah dari manusia. Karena manusia mempunyai kemampuan berfikir, maka humanism menganggap manusia
mampu mengatur dirinya dan dunia. Jadi ciri utama renaissance adalah humanism,
individualism lepas dari Agama (tidak
mau di atur oleh agama), empirisme
(zaman kebebasan dalam pengembangan ilmu pengetahuan) dan rasionalisme (kebebasan dalam mengembangkan fikiran).
Istilah ini mula-mula digunakan oleh seorang
ahli sejarah terkenal yang bernama Jules Michelet,kemudian dikembangkan oleh
J.Burckhardt (1860) untuk konsep sejarah yang menunjuk kepada periode yang
bersifat individualism, kebangkitan
kebudayaan antik, penemuan dunia dan manusia sebagai periode yang di lawankan
dengan periode Abad Pertengahan. Renaissance
atau kelahiran kembali di Eropa ini merupakan suatu gelombang kebudayaan dan
pemikiran yang di mulai di Italia, kemudian di Francis, Spanyol, dan selanjutnya
hingga meyebar ke seluruh Eropa . Karya filsafat pada abad ini sering
disebut filsafat Renaissance.
Kemunculan renaissance banyak memberikan realitas disegala
aspek, perhatian yang sungguh-sungguh atas segala hal yang kongkrit dalam
lingkup alam semesta, manusia, kehidupan masyarakat dan sejarah. Pada masa ini
manusia berupaya memberikan porsi kepada akal secara mandiri. Akal diberi
kepercayaan yang lebih besar, karena ada keyakinan bahwa akal mampu menerangkan
segala persoalan yang diperlukan, termasuk pemecahannya. Hal ini dibuktikan
dengan adanya perang terbuka terhadap kepercayaan yang dogmatis dan terhadap
orang-orang yang enggan menggunakan akalnya. Asumsi yang digunakan adalah
semakin besar kekuatan akal, akan semakin cepat melahirkan dunia baru, pada
saat itu manusia dapat merasa puas atas dasar kepemimpinan akal yang sehat. Revolusi
besar dalam ilmu pengetahuan baru terjadi pada zaman modern kurang lebih abad
ke-17 namun renaissance dapat dianggap
sebagai masa persiapan Renaissance bukanlah
sebuah periode prestasi besar dalam filsafat, tetapi telah melakukan sesuatu
yang pasti sebagai permulaan penting bagi kebesaran abad ke- 17. Pertama-tama, renaissance Italia meruntuhkan system
skolastik yang rijid sebagai baju pengekang intelektual. Renaissance telah membangkitkan kembali pemikiran Plato, dan dengan
cara demikian setidaknya menuntut pemikiran yang sangat independen sebagaimana
yang dipersyaratkan untuk memilih antara Plato dan Aristoteles. Berkenaan
dengan kedua filosof ini, renaissance
telah mengembangkan ilmu pengetahuan asli dari tangan pertama yang terbebas
dari komentar-komentar para Neoplatonis dan keterangan-keterangan daripada pengulas
dari Arab.
Dampak dari renaissance dalam wilayah moral,
mendatangkan malapetaka. Aturan-aturan moral lama tidak lagi dihargai. Namun
dampak renaissance diluar wilayah moral,
menunjukkan kelebihan-kelebihan yang luar biasa. Dalam arsitektur, lukisan dan
gerabah, renaissance masih tetap
terkenal sampai sekarang. Renaissance menghasilkan
orang yang sangat besar seperti Leonardo,Michelangelo,dan Machiavelli.
Gerakan renaissance merupakan sebuah
gerakan yang sangat berpengaruh dalam perkembangan dan kemajuan manusia pada
zaman itu hingga zaman sekarang. Dengan adanya gerakan ini manusia mempunyai
kebebasan dalam mengembangkan diri dalam segala aspek dan segi tidak hanya
dalam segi keagamaan saja, tetapi juga dalam segi ilmu pengetahuan, seni,
budaya, penjelajahan, filsafat, dan berbagai macam disiplin ilmu lainnya.
3. Tokoh-rokoh renaissance
Setiap gerakan baik besar atau kecil akan menghasilkan
tokoh-tokoh yang tidak akan lepas dari sejarah pergerakan tersebut. Begitu pula
renaissance, gerakan yang mampu
mengubah cara berfikir eropa menjadi lebih maju dan modern juga mempunyai tokoh
yang harus kita ketahui bersama. Pada zaman renaissance
terdapat tokoh di berbagai bidang, baik itu di bidang seni dan budaya, ilmu
pengetahuan, penjelajahan, ataupun di bidang filsafat. Diantara tokoh-tokoh
tersebut adalah:
a.
Niccollo Machiavelly
Machiavelly lahir pada tahun 1469 di
Florence, meninggal dunia tahun 1527 pada umur 58 tahun, ayahnya adalah seorang
ahli hukum, tergolong anggota keluarga terkemuka tetapi tidak begitu
berada. Machiavelly hidup pada saat puncak kejayaan renaissance di Italia, dan pada saat itu
Italia masih terbagi-bagi dalam negara-negara kecil, berbeda dengan negara yang
bersatu seperti Prancis, Spanyol atau Inggris. Karena itu tidak mengherankan
jika pada masa ini Italia lemah secara militer
meskipun briliant dalam segi kultur.
Semasa hidupnya, Machiavelly menulis
beberapa buku, yaitu;
1) The
discources upon the first ten books of
titus livius
(pembicaraan terhadap sepuluh buku pertama tius livius).
2) The art of
war (seni
berperang) dan lain lain.
b.
Lorenzo Valla (1405-1457)
Lahir
di Roma pada tahun 1405 dari keluarga ahli hukum. Salah satu ungkapannya yang
sangat terkenal adalah ”Mengorbankan hidup demi kebenaran dan keadilan adalah
jalan menuju kebajikan tertinggi, kehormatan tertinggi dan pahala tertinggi.”
Hasil
karyanya antara lain adalah:
1) De volupte
(kesenangan) yang terbit pada tahun 1440, yang berisi kekagumannya pada etika
Stoisisme yang mengajarkan pentingnya manusia itu mati raga (askese) dalam
rangka mendapatkan keselamatan jiwa.
2) De Libero Erbitrio
(keinginan bebas) yang mengatakan individualitas manusia berakar pada kebesaran
dan keunikan manusia, khususnya kebebasan sehingga kehendak awal Sang Pencipta
tidak membatasi perbuatan bebas manusia dan tidak meniadakan peran kreatif
manusia dalam sejarahnya.
3) De falso credita et ementita
Constantini donation declamation berisi tentang donasi
hadiah kepada Sri Paus oleh Kaisar Constantinus sebenarnya palsu sebab dari
sudut bahasa donasi itu jelas bukan gaya bahasa abad ke-4 melainkan abad ke-8.
c.
Dante Alighiere (1265-1321)
Dante
lahir pada tanggal 21 Mei 1265 di Firenze, berasala dari keluarga kaya raya.
Dia pernah menjadi prajurit Firenze, ingin negaranya dapat merdeka dari
pengaruh tiga kerajaan yang lebih besar yaitu Kepausan, Spanyol dan Perancis.
Dante mulai menjadi pengkritik dan penentang otoritas moral Kepausan yang
dinilai tidak adil dan tidak bermoral. Puncaknya dia tuangkan dalam sebuah buku
yang berjudul De Monarchia (On Monarchy)
yang berisi tentang kedudukan dan keabsahan Sri Paus sebagai pemimpin spiritual
tertinggi Gereja Katolik, mengapa sekaligus menjadi raja dunia (Kerajaan
Kepausan) yang otoriter.
Hasil
karya Dante antara lain adalah:
1)
La
Vita Nuova (The New Life) berisi tentang gambaran pertumbuhan
cinta manusia. Comedia yang ditulis ketika dia berada dalam pengasingan panjang
di Revenna. Buku ini berisi tentang perjalanan jiwa manusia yang penuh
kepedihan dalam perjalanan dari dunia ke alam gaib. Tokoh utamanya adalah
Virgilius (nama sastrawan dari zaman Romawi kuno) yang setelah kematiannya
harus melewati tiga fase yaitu inferno (neraka), purgatoria (pembersih jiwa),
dan paradiso (surga).
C. Kelahiran
filsafat modern
1. Latar
belakang lahirnya filsafat modern
Secara historis abad modern dimulai sejak adanya krisis
abad pertengahan. Selama dua abad (abad
15M dan 16M) di Eropa muncul sebuah
gerakan yang menginginkan seluruh kejayaan filsafat dan kebudayaan
kembali hadir sebagaimana pernah terjadi pada masa jayanya Yunani kuno. Gerakan
tersebut dinamakan renaissance.
Renaissance
berarti kelahiran kembali, yaitu lahirnya kebudayaan Yunani dan kebudayaan
Romawi.
Pada abad ke 14 dan 15 terutama di Italia muncul
keinginan yang kuat, sehingga memunculkan penemuan-penemuan baru dalam bidang
seni dan sastra, dari penemuan tersebut sudah memperlihatkan suatu perkembangan
baru. Manusia berani berpikir secara baru, antara lain mengenai dirinya
sendiri, manusia menganggap dirinya sendiri tidak lagi sebagai viator mundi,
yaitu orang yang berziarah di dunia ini, melainkan sebagai faber mundi, yaitu
orang yang menciptakan dunianya.
Pada saat itu gejala masyarakat untuk
melepaskan diri dari kungkungan dogmatisme Gereja sudah mulai tampak di Eropa.
Abad pertengahan manusia tidak bisa berekspresi secara bebas, manusia di nina bobokkan
lebih kurang 1000 tahun lamanya.
Ciri utama renaissance
dengan demikian adalah humanisme, individualisme, lepas dari agama.
Manusia sudah mengandalkan akal (rasio) dan pengalaman (empiris) dalam
merumuskan pengetahuan, meskipun harus diakui bahwa filsafat belum menemukan
bentuk pada zaman renaissance,
melainkan pada zaman sesudahnya, yang berkembang pada waktu itu sains, dan
penemuan-penemuan dari hasil pengembangan sains yang kemudian berimplikasi pada
semakin ditinggalkan agama kristen karena semangat humanisme. Fenomena tersebut cukup tampak pada abad modern.
Zaman modern merupakan zaman tegaknya corak
pemikiran filsafat yang berorientasi antroposentrisme,
sebab manusia menjadi pusat perhatian. Pada masa Yunani dan abad pertengahan
filsafat selalu mencari substansi prinsip induk seluruh kenyataan. Para filsuf
Yunani menemukan unsur-unsur kosmologi sebagai prinsip induk segala sesuatu
yang ada. Sementara para tokoh abad pertengahan, Tuhan menjadi prinsip bagi
segala yang ada, namun pada zaman modern, peranan substansi diambil alih oleh
manusia sebagai ‘subjek’ yang terletak di bawah seluruh kenyataan, dan memikul
seluruh kenyataan yang melingkupinya. Oleh karena itu zaman modern sering
disebut sebagai zaman pembentukan ‘subjektivitas’, karena seluruh sejarah
filsafat zaman modern dapat dilihat sebagai satu mata rantai perkembangan
pemikiran mengenai subjektivitas. Semua filsuf zaman modern menyelidiki
segi-segi subjek manusiawi. Aku sebagai pusat pemikiran, pusat pengamatan,
pusat kebebasan, pusat tindakan pusat kehendak, dan pusat perasaan.
Filsuf paling awal meletakkan dasar filsafat secara
modern dengan cara menyelidiki subjektivitas manusia dengan pendekatan rasio
adalah Rene Descartes, melalui Descarteslah warna kemodrenan benar-benar hidup
yang kemudian diikuti oleh filsuf-filsuf sesudahnya dengan mengembangkan
aliran-aliran lain seperti rasionalisme, empirisme, kritisisme, idealisme,
pragmatisme, eksistensialisme, sampai pada munculnya filsafat analitik yang
mempersoalkan kaidah bahasa dan penafsiran terhadap teks-teks dan bahasa.
2. Perkembangan
filsafat modern
Akhir abad ke 16 Eropa memasuki abad sangat
menentukan dalam dunia perkembangan filsafat, sejak Descartes, Spinoza dan
Leibniz mencoba untuk menyusun suatu sistem filsafat dengan dunia yang berpikir
dalam pusatnya, yaitu suatu sistem berpikir rasional. Rasionalisme adalah paham
filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting dalam
memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan. Rasionalisme pada dasarnya ada
dua macam, yaitu dalam bidang agama dan filsafat, dalam agama rasionalisme
adalah lawan autoritas.
Sejarah
rasionalisme pada esensialnya sudah ada sejak Thales ketika merumuskan
filsafatnya, kemudian pada kaum sofis dalam melawan filsafat Socrates, Plato
dan Aristoteles, dan beberapa filsuf sesudahnya. Dalam abad modern tokoh utama
rasionalisme adalah Rene Descartes,
Sementara dalam bidang filsafat rasionalisme adalah
lawan empirisme. Rasionalisme dalam bidang agama biasanya digunakan untuk
mengkritik ajaran agama, rasionalisme dalam filsafat berguna sebagai teori
pengetahuan. Sebab Descarteslah orang yang membangun fondasi filsafat jauh
berbeda bahkan berlawanan dengan fondasi filsafat abad pertengahan.
Dasar filosofis utama Descartes adalah bahwa
perkembangan filsafat sangat lambat bila dibandingkan dengan laju perkembangan
filsafat pada zaman sebelumnya. Ia melihat tokoh-tokoh gereja yang
mengatasnamakan agama telah menyebabkan lambatnya perkembangan filsafat.
Descartes ingin melepaskan dari dominasi gereja dan mengembalikan pada semangat
filsafat Yunani, yaitu filsafat yang berbasis pada akal. Dengan demikian corak
utama filsafat modern yang dimaksud di sini adalah dianutnya kembali
rasionalisme seperti pada masa Yunani kuno. Rasionalisme yang dikembangkan oleh
Descartes, kemudian dikembangkan lagi oleh Spinoza, Leibniz dan Pascal.
Paham yang
berlawanan dengan rasionalisme adalah empirisme. aliran ini lebih menekankan
peranan pengalaman dan mengecilkan peran akal dalam memperoleh pengetahuan.
Sebagai suatu doktrin, empirisme adalah lawan dari rasionalisme. Dalam
menguatkkan doktrinnya, empisme mengembangkan dua teori, yaitu teori tentang
makna yang begitu tampak pada pemikiran J. Locke dalam buku An Essay concerning human
understanding ketika ia menentang innate
idea (ide bawaan) rasionalisme Descartes. Teori tentang makna kemudian
dipertegas oleh D. Hume dalam bukunya Treatise
Of Human Nature dengan cara membedakan antara idea dan kesan (impression).
Pada abad 20 kaum empirisis cendrung menggunakan
teori makna mereka pada penentuan apakah suatu konsep diterapkan dengan benar
atau tidak. Filsafat empirisme tentang teori makna berdekatan dengan
positivisme logis. Oleh karena itu, bagi penganut empirisis jiwa dapat dipahami
sebagai gelombang pengalaman kesadaran, materi sebagai pola jumlah yang dapat
diindera, dan hubungan kausalitas sebagai urutan peristiwa yang sama. Teori
kedua yaitu teori pengetahuan, menurut pengikut rasionalisme ada bbeberapa
kebenaran umum seperti setiap kejadian mempunyai sebab, seperti dasar-dasar
matematika, dan beberapa prinsip dasar etika yang dikenal dengan istilah
kebenaran apriori yang diperoleh lewat institusi rasional. Empirisme menolak
pendapat seperti itu, mereka menganggap bahwa kebenaran hanya aposteriori yaitu
pengetahuan melalui observasi. Tokoh empirisme yang eksis mengembangkan teori
ini J. Locke, D. Hume dan H. Spencer.
Rasionalisme dan empirisme dalam pandangan kritisisme sudah terjebak
pada paham eklusivisme, ke dua aliran ini sama-sama mempertahankan kebenaran,
seperti rasionalisme mengatakan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio,
sementara empirisme mengatakan sumber pengetahuan adalah pengalaman, padahal
masing-masing aliran ini memiliki kelemahan-kelemahan. Dalam kondisi seperti
itu Immanual Kant tampil untuk mendamaikan kedua aliran tersebut, menurut Kant
bahwa pengetahuan merupakan hasil kerja sama dua unsur yaitu ‘pengalaman
inderawi’ dan ‘keaktifan akal budi’. Pengalaman inderawi merupakan unsur
aposteriori (yang datang kemudian), akal budi merupakan unsur apriori (yang
datang lebih dulu). Empirisme dan rasionalisme hanya mementingkan satu dari
dua
unsur ini. Kant telah memperlihatkan bahwa pengetahuan selalu merupakan sebuah
sintesis.
Revolusi kopernikan yang telah diadakan Kant dalam
bidang filsafat dengan kritisismenya, diteruskan dengan lebih radikal lagi oleh
pengikutnya.
Para murid
Kant tidak puas terhadap batas kemampuan akal, alasannya karena akal murni
tidak akan dapat mengenal hal yang berada di luar pengalaman. Untuk itu dicari
suatu sistem metafisika yang ditemukan lewat dasar tindakan. Para idealis dalam
hal ini tidak sepakat dengan Kant dan mereka menyangkal adanya ‘das ding an
sich’ (realitas pada dirinya). Menurut mereka, Kant jatuh dalam kontradiksi
dengan mempertahankan ‘das ding an sich’. Menurut Kant sendiri penyebab
merupakan salah satu katagori akal budi dan akibatnya tidak boleh disifatkan
pada das ding an sich. Karena
alasan-alasan serupa itu para idealis mengesampingkan ‘das ding an sich’.
Menurut pendapat mereka tidak ada suatu realitas pada dirinya atau suatu
realitas yang objektif. Realitas seluruhnya merupakan hasil aktivitas suatu
subjek, yang dimaksud subjek di sini bukan subjek perorangan melainkan subjek
absolut. Pemikiran idealisme dikembangkan oleh Fichte dengan idealisme subjektif,
Schelling dengan idealisme objektif dan Hegel dengan idealisme mutlak.
Perkembangan filsafat idealisme yang menyetarafkan
realitas seluruhnya dengan roh atau rasio menuai pesimisme dengan lahirnya
positivisme. Aliran ini mulanya dikembangkan oleh A. Comte, menurut positivisme
pengetahuan tidak pernah boleh melebihi fakta-fakta, untuk itu pengetahuan
empiris menjadi contoh istimewa bagi aliran ini, sehingga mereka menolak
metafisika dan mengutamakan pengalaman, meskipun positivisme mengandalkan
pengalaman dalam mendapatkan pengetahuan, namun mereka membatasi diri pada
pengalaman objektif saja.
Pada pertengahan abad ke 20 ilmu pengetahuan positif
berkembang pesat di Eropa dan Amerika. Salah satu metode kritis yang berkembang
pada waktu itu yaitu munculnya filsafat fenomenologi sebagai sumber berpikir
kritis. Fenomenologi adalah metode yang diperkembangkan oleh Edmund Husserl
berdasarkan ide-ide gurunya Franz Brentano. Menurut Husserl bahwa objek harus
diberi kesempatan untuk berbicara, yaitu dengan cara deskripsi fenomenologi
yang didukung oleh metode deduktif, tujuannya adalah untuk melihat hakikat
gejala-gejala secara intuitif. Sedangkan metode deduktif mengkhayalkan fenomena
berbeda, sehingga akan terlihat batas invariable dalam situasi yang berbeda.
Sementara di Amerika salah satu aliran filsafat
berkembang adalah aliran pragmatisme. Aliran ini mengajarkan bahwa yang benar
adalah apa saja yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dan bermanfaat
secara praktis. Ide aliran pragmatisme berasal dari William James, pemikiran
James pada awalnya sederhana karena James melihat bahwa telah terjadi
pertentangan antara ilmu pengetahuan dengan agama sehingga tujuan kebenaran
orang Amerikan terlalu teoritis, ia menginginkan hasil yang kongkret, untuk
menemukan esensi tersebut maka harus diselidiki konsekwensi praktisnya. Pragmatisme
kemudian dikembangkan oleh John Dewey, menurut Dewey filsafat tidak boleh
berada dalam pemikiran metafisika yang tidak ada manfaatnya. Dengan demikian
filsafat harus berdasarkan pada pengalaman, kemudian mengadakan penyelidikan
dan mengolahnya secara kritis sehingga filsafat dapat memberikan sistem norma
dan nilai-nilai.
Filsafat kadang kala lahir tidak selamanya dalam
keadaan normal, salah satunya adalah eksistensialisme. Lahirnya eksistensialisme
berangkat dari suatu krisis kemanusiaan akibat perang dunia I terutama di Eropa
barat, dalam bidang filsafat eksistensialisme mengkritik paham materialisme
yang menganggap manusia hanyalah sesuatu yang ada, tanpa menjadi subjek.
Manusia berpikir, berkesadaran inilah yang tidak disadari oleh materialisme.
Dengan demikian manusia dalam pandangan materialisme melulu menjadi objek.
Sementara idealisme sebaliknya, berpikir dan berkesadaran dilebih-lebihkan
sehingga menjadi seluruh manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi
tidak ada barang lain selain pikiran. Idealisme dalam hal ini hanya memandang
manusia sebagai subjek. Aliran ini dikembangkan oleh Soren Kierkegaard kemudian
diteruskan oleh Jean Paul Sartre.
Filsafat untuk abad sekarang bukan lagi barang baru
dan momok yang harus ditakutkan oleh banyak orang, tetapi yang menjadi kendala
dalam menyampaikan maksudmaksud filsafat kepada masyarakat secara luas yaitu
bahasa. Filsuf dalam kondisi seperti itu harus menaruh perhatian besar guna
menjelaskan kaidah-kaidah bahasa dalam filsafat agar mudah dipahami oleh
masyarakat. Perhatian terhadap bahasa tersebut awalnya dilakukan oleh G.E.
More, kemudian diteruskan oleh B. Russel dan Wittgenstein. Melalui Wittgenstein
inilah muncul metode analisis bahasa. Metode analisis bahasa yang ditampilkan
oleh Wittgenstein berhasil membentuk pola pemikiran baru dalam dunia filsafat.
Tugas filsafat bukan saja membentuk pernyataan tentang sesuatu yang khusus,
melainkan memecahkan persoalan yang timbul akibat ketidakpahaman terhadap
logika bahasa.
Filsafat
dengan demikian sejak kemunculanya sampai sekarang telah memberikan warna
menarik, terutama dalam merumuskan pertanyaan-pertanyaan sambil memberikan
jawaban-jawaban kepada kita sebagai manusia yang hidup pada abad modern ini.
BAB 3
PENUTUP
A. Simpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian di atas
adalah sebagai berikut:
Humanisme
adalah martabat dan nilai dari setiap manusia, dan semua upaya untuk
menimgkatkan kemampuan-kemampuan alamiahnya secara penuh. Gerakan humanisme adalah gerakan yang merupakan
manifestasi dari perlawanan dan protes para cendekiawan Italia terhadap
pemerintahan dictatorial para elit gereja, yang memasung kebebasan, kreatifitas
dan nalar manusia. Kemunculan humanisme adalah
untuk mengembalikan semangat dan kebebasan manusia dalam berkreasi seperti yang
pernah terjadi pada masa Yunani dan Romawi kuno.
Humanisme dalam
Islam ditegakkan di atas dasar kemanusiaan yang murni diajarkan al-Qur’an.
Konsepsi Islam mengajarkan pada umatnya, bahwa Allah SWT yang Maha Pengasih dan
Maha Penyayang tidaklah menciptakan manusia dengan sia-sia. Dia telah
mengaruniakan panca indera, akal dan fikiran serta menjadikan manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya, sempurna lahir dan bathin. Humanisme dalam ajaran Islam tidaklah bersifat ekstrim seperti
halnya humanism di Barat. Menurut
pandangan Islam, mulia atau rendahnya menusia tidak terletak pada wujudnya
semata sebagai makhluk Tuhan, akan tetapi terletak juga bagaimana ia dapat
menjadikan dirinya bermanfaat bagi sesama makhluk. Apabila manusia beriman
kepada Allah dan berbuat kebajikan sehingga mereka mampu berbuat banyak dalam
mengelola alam maka ia menjadi makhluk terbaik. Sebaliknya apabila manusia
ingkar dan berbuat kerusakan di muka bumi serta menghianati amanat yang luhur
itu akan tercampak dalam kehinaan dan kenistaan.
Renaissance
adalah lahirnya kembali orang Eropa untuk mempelajari ilmu pengetahuan Yunani
dan Romawi kuno yang ilmiah. Sebelum renaissance
bangsa Eropa mengalami zaman kegelapan. Dalam zaman ini, gereja berkuasa
mutlak, ajaran gereja menjadi sesuatu yang tidak boleh dibantah. Dalam
perkembangannya mulai muncul gerakan yang mencoba melepaskan dari ikatan
tersebut, yang disebut gerakan renaissance.
Dalam zaman itu pula, pemikiran-pemikiran ilmiah tenggelam oleh dogma-dogma
gereja. Gerakan renaissance merupakan
masa peralihan dari filsafat skolastik abad pertengahan dengan filsafat
modern.Yang melatar belakangi lahirnya renaissance
adalah adanya penindasan gereja, juga adanya perang salib, yang memberi peluang
kepada ilmuan, seniman, kaum humanis untuk mendobrak tradisi lama dan
mengembalikan kejayaan eropa pada jaman Romawi dan Yunani kuno. Dampak dari renaissance dilihat dari wilayah moral,
mendatangkan malapetaka, karena turan-aturan moral lama tidak lagi dihargai.
Jika dilihat di luar wilayah moral, menunjukkan kelebihan yang luar biasa yakni
perkembangan ilmu pengetahuan.
Kehadiran filsafat abad modern yang diawali oleh
gerakan renaissance berusaha mengembalikan eksistensi kemanusia yang hilang
oleh tidur pajang 1000 tahun lebih. Abad modern ditandai oleh penemuan-penemuan
besar dalam bidang ilmu pengetahun sehingga abad modern menjadi abad kembalinya
subjektivitas dengan memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya pada peranan
akal. Munculnya aliran-aliran berbeda menunjukkan bahwa abad modern telah
memperbaharui sudut pandang dogmatis manusia kepada pemahaman pluralis yang
didukung oleh data dan fakta rasional dan empiris.
B. Kritik
dan saran
0 comments:
Post a Comment