A. Konsep
Dasar dan Sejarah BPRS
Kehadiran
perbankan berfungsi melayani masyarakat di daerah pedesaan atau pinggiran, atau
biasa dikenal dengan rural banking. Di Indonesia, rural banking
diakomodasikan dalam bentuk lembaga Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank
Pembiayaan Rakyat Syari’ah (BPRS). Lembaga keuangna ini dibituhkan oleh
masyarakat didaerah pedesaan atau pinggiran yang belum terjangkau oleh bank
umum, baik dari penyimpanan dana nashabah maupun segi pembiayaan.
Status
BPR diakui pertama kali dalam Paket Kebijakan Oktober (pakto) tanggal 27
Oktober 1988, sebagai bagian dari Paket Kebijakan Keuangan, Moneter, dan
Perbankan. Secara historis, BPR adalah penjelmaan dari banyak lembaga keuangan,
seperti bank desa, lumbung desa, bank pasar, Bank Pegawai Lumbung Pilih Nagari
(LPN), Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Bank Kredit Desa (BKD), Badan Kredit
Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan
Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), dan lembaga lainnya yang
dapat dipersamakan dengan itu.[1]
Sejak dikeluarkannya UU No. 7 Tahun 1992, keberadaan lembaga-lembaga
keuangan tersebut diperjelas melalui izin Menteri Keuangan.
Dalam
perundang-undangan, lembaga ini diatur dalam UU No. 7 tahun 1992 tentang
Perbankan, bahwa BPR adalah lembaga keuangan bank yang menerima simpanan hanya
dalam bentuk deposito berjangka tabungan dan/ atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu dan menyalurkan usaha dana sebagai usaha BPR. Pada UU
Perbankan No.10 tahun 1998, disebutkan bahwa BPR adalah lembaga keuangan bank
yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional atau berdasarkan
prinsip syari’ah.
Menurut
UU No. 21 tahun 2008 tentang perbankan syari’ah, Bank Pembiayaan Rakyat
Syari’ah (BPRS) adalah bbank syari’ah yang dalam kegiatannya tidak memberikan
jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Berdirinya
BPRS tida bisa dilepaskan dari pengaruh berdirinya lembaga-lembaga keuangan
sebagaimana disebutkan sebelumnya. Cikal bakal lahirnya bank syari’ah di
Indonesia pertama kali dirintis dengan mendirikan tiga BPR Syari’ah, yaitu:
1. PT
BPR Dana Mardhatillah, Kec. Margahayu, Bandung;
2. PT
BPR Berkah Amal Sejahtera, Kec. Banjaran, Bandung.
3. PT
BPR Amanah Rabbaniyah, Kec. Banjaran, Bandung.
Pada
tanggal 8 Oktober 1990, ketiga BPR Syari’ah tersebut telah mendapatkan izin prinsip dari Menteri
Keuangan RI. Selanjutnya, dengan bantuan asistensi teknis dari Bank Bukopin
cabang Bandung yang memperlancar penyelenggaraan pelatihan dan pertemuan para pakar
perbankan. Pada tanggal 25 Juli 1991, BPR Dana Mardhatillah, BPR Berkah Amal
Sejahtera, dan BPR Amanah Rabbaniyah mendapatkan izin usaha dari Menteri
Keuangan RI.
Untuk
mempercepat proses pendirian BPR Syari’ah yang lain, dibentuk lembaga-lembaga
penunjang, antara lain sebagai berikut.[2]
1. Institute
for Syari’ah Economic Development (ISED)
ISED bertugas
melaksanakan program pendidikan/ pemberian bantuan teknis pendirian BPR
Syari’ah di Indonesia, khususnya di daerah-daerah berpotensi.
2. Yayasan
Pendidikan dan Pengembangan Bank Syari’ah
YPPBS membantu perkembangan BPR Syari’ah di
Indonesia dengan melakukan kegiatan:
a. Pendidikan,
baik tingkat dasar untuk sarjana baru maupun tingkat menengah untuk para
praktisi yang berpengalaman minimal 2 tahun di perbankan.
b. Membantu
proses pendirian dan memberikan bantuan asistensi teknis.
B. Tujuan
BPRS
Ada
beberapa tujuan yang dikehendaki dari pendirian BPR syari’ah di dalam
perekonomian, yaitu sebagai berikut[3]:
a) Meningkatkan
kesejahteraan ekonomi ummat, terutama masyarakat golongan ekonomi lemah yang
pada umumnya berada di daerah pedesaan.
b) Menambah
lapangan kerja, terutama ditingkat kecamatan sehingga dapat mengurangi arus
urbanisasi.
c) Membina
semangat ukhuwah islamiyah melalui kegiatan ekonomi dalam rangka meningkatkan
pendapatan perkapita menuju kualitas hidup yang memadai.
d) Mempercepat
perputaran aktivitas perekonomian karena sector real akan bergairah.
Untuk mencapai tujuan tersebut diatas perlu disusun
strategi operasional pencapainnya, yaitu[4]:
1) BPR
Syari’ah tidak bersifat menunggu terhadap datangnya permintaan fasilitas,
melainkan bersifat aktif dengan melakukan sosialisasi/penelitian kepada
usaha-usaha yang bersekala kecil yang perlu dibantu tambahan modal, sehingga
memiliki prospek bisnis yang baik.
2) BPR
Syari’ah memiliki jenis usaha yang waktu perputaran uangnya jangka pendek
dengan mengutamakan usaha skala menengah dan kecil.
3) BPR
Syari’ah mengkaji pangsa pasar, tingkat kejenuhan, dan tingkat kompetitifnya
produk yang akan diberi pembiayaan.
C. Karateristik
BPR.
Dalam aktifitas oprasional perbankannya
berdasarkan UU No. 21 tahun 2008, Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah (BPRS)
dilarang:
a) Melakukan
kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah.
b) Menerima
simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran.
c) Melakukan
kegiatan usaha dalam valuta asing, kecuali penukaran uang asing dengan izin
bank Indonesia.
d) Melakukan
kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi
syariah.
e) Melakukan
penyertaan modal, kecuali pada lembaga yang dibentuk untuk menanggulangi
kesulitan likuiditas Bank Pembiyaan Rakyat Syari’ah.
f) Melakukan
usaha lain diluar kegiatanusaha yang telah diatur dalam Undang-Undang.
Perbedaan Bank Pembiayaan Rakyat
Syari’ah (BPRS) dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah sebagai berikut:
1) Akad
dan aspek legalitas dalam BPRS akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi
dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum islam. Seiring,
nasabah berani melanggar kesepakatan/perjanjian yang telah dilakukan bila hukum
itu hanya berdasarkan hukum positif.
2) Adanya
dewan pengawas Syari’ah dalam struktur organisasinya yang bertujuan mengawasi
praktik oprasional BPRS agar tidak menyimpang dari prinsip syari’at.
3) Penyelesaian
sengketa yang terjadi dapat diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syari’ah
maupun pengadilan agama.
4) Bisnis
dan usaha yang dibiayai tidak boleh bisnis yang haram, subhat ataupun dapat
menimbulkan kemudharatan bagi pihak lain.
5) Praktik
oprasional BPRS, baik untuk penghimpunan maupun penyaluran pembiayaan, menggunakan
system bagi hasil dan tidak boleh menerapkan sistem bunga.
D. Kegiatan
Usaha BPR Syari’ah.
Secara umum menurut UU No. 21 tahun 2008
tentang Perbankan Syariah kegiatan usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)
meliputi sebagai berikut:
1. Kegiatan
penghimpun dana masyarakat, penghimpunan dana tersebut dalam bentuk:
a. Simpanan
berupa tabungan atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan aqad wadi’ah
atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah.
b. Investasi
berupa deposito atau tabungan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu
berdasarkan aqad mudharabah atau aqad lain yang tidak bertentangan denagn
prinsip syari’ah.
2. Kegiatan
penyaluran dana kepada masyarakat, penyaluran dana tersebut dalam bentuk:
a. Pembiayaan
dengan prinsip bagi hasil berdasar akad mudharabah atau musyarakah.
b. Pembiayaan
untuk transaksi jual beli berdasarkan akad murabahah, salam, atau I
istisna.
c. Pinjaman
berdasarkan akad qard.
d. Pembiayaan
penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada nasabah berdasarkan akad ijarah
atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bit tamlik.
e. Pengambilalihan
utang berdasarkan akad hawalah.
3. Menempatkan
dana pada bank syari’ah lain dalam bentuk titipan berdasarkan akad wadi’ah atau
investasi berdasarkan akad mudharabah dan/ atau akad lain yang tidak
bertentangan dengan prinsip syari’ah.
4. Memindahkan
uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah melalui
rekening Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah yang ada di Bank Umum Syari’ah, Bank
Umum Konvensional, dan Unit Usaha Syari’ah.
5. Menyediakan
produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Syari’ah lainnya yang sesuai dengan
prinsip syari’ah berdasarkan persetujuan Bank Indonesia.
E. Pendiri
BPR Syari’ah
1. Syarat
Pendirian
Pendirian BPR
Syari’ah harus mengacu pada bentuk hokum BPR Syari’ah yang telah ditentukan
dalam UU Perbankan. Sebagaimana dalam UU Perbankan Syari’ah No. 21 tahun 2008
Pasal 7, bentuk badan hukum suatu bank syari’ah baik berbentuk bank umum, unit
badan hukum suatu bank syari’ah bak
berbentuk bank umum, unit usaha maupun BPRS adalah Perseroan Terbatas (PT).
Adapun
syarat-syarat untuk pendirian BPR
Syri’ah adalah sebagai berikut.[5]
a. BPR
Syari’ah hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syari’ah dengan izin Direksi Bank Indonesia.
b. BPR
Syari’ah hanya didirikan dan dimiliki oleh:
·
Warga Negara Indonesia.
·
Badan hukum Indonesia yang seluruh
pemilikannya oleh warga Negara Indonesia.
·
Pemerintah daerah.
·
Dua pihak atau lebih sebagaimana
dimaksud diatas.
Pemberian izin
pendirian BPR Syari’ah dilakukan dalam dua tahap, yaitu:
a. Persetujuan
prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian BPR Syari’ah.
b. Izin
usaha, yaitu izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan usaha BPR Syari’ah
setelah persiapan persetujuan prinsip dilakukan.
2. Permodalan
Modal yang disetor
untuk mendirikan BPR Syri’ah ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar:
a. Rp
2.000.000.000, (dua milyar rupiah) untuk BPR Syari’ah yang didirikan diwilayah
Jakarta, dan Kabupaten/Kotamadya Tangerang, Bogor, dan Karawang.
b. Rp
1.000.000.000, (satu milyar rupiah) untuk BPR Syari’ah yang didirikan diwilayah
ibukota provinsi di luar wilayah yang disebut pada butiran a.
c. Rp
500.000.000, (lima ratus juta rupiah) untuk BPR Syari’ah yang didirikan diluar
wilayah yang disebut pada butiran a dan b.
Modal yang
disetor tersebut, yang digunakan untuk modal kerja bagi BPR Syari’ah, wajib
sekurang-kurangnya berjumlah 50%. Dengan kata lain, biaya investasi dalam
rangka pendirian BPR Syari’ah tidak boleh melebihi 50% dari modal yang disetor
oleh pendirinya.
F. Kendala
Pengembangan BPR Syari’ah
Dalam praktik
operasionalnya, BPR Syari’ah mengalami berbagai kendala, sebagai berikut.[6]
1. Kiprah
BPR Syari’ah kurang dikenal masyarakat sebagai BPR yang berprinsipkan syari’ah,
bahkan masih ada sekelompok masyarakat yang menganggap BPR Syari’ah sama dengan
BPR konvensional. Oleh karena itu, BPR Syari’ah perlu menegaskan dan meneguhkan
identitasnya sebagai BPR yang menggunakan prinsip-prinsip syari’ah, yang akan
banyak perbedaan secara konseptual
ataupun operasional dengan BPR konvensional.
2. Upaya
untuk meningkatkan professional sering terhalang rendahnya sumber daya manusia
yang dimiliki oleh BPR Syari’ah, sehingga proses BRP Syari’ah dalam melakukan
aktivitasnya cenderung lambat dan respons terhadap permasalahan ekonomi rendah.
Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan SDM perlu diarahkan disemua posisi,
baik diposisi pemegang kebijakan maupun berposisi di lapangan.
3. Kurang
adanya koordinasi diantara BPR Syari’ah, demikian jugadengan Bank Syari’ah dan
BMT. Sebagai lembaga keuangan yang mempunyai tujuan syi’ar Islam tentunya
langkah koordinasi dalam rangka mendapatkan strategi yang yang terpadu dapat
dilakukan untuk mengangkat ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan framework
yang bisa dijadikan acuan diantara lembaga keuangan di tingkat kabuoaten,
kecamatan, desa ataupun pasar dalam melangsungkan aktivitasnya tanpa
menyampingkan keberadaan lembaga keuangan yang lain.
4. Sebagai
lembaga keuangan yang memiliki konsep Islam tentunya juga bertanggung jawab
terhadap nilai-nilai keislaman masyarakat yang ada disekitar BPR Syari’ah.
Aktivitas BPR Syari’ah dibidang keuangan sering tidak mengalokasikan waktu
untuk melakukan aktivitas yang berhubungan dengan syiar Islam.
Selain itu, kendala
pengembangan BPR Syari’ah di Indonesia dapatpula disebabkan hal berikut:
1. Ekspansi
yang dilakukan oleh bank umum, baik syari’ah maupun konvensional, ke daerah
pinggiran yang selama ini menjadi target pasar dari BPR Syari’ah. Hal ini
mengakibatkan banyaknya masyarakat yang beralih dari BPR Syari’ah kepada bank
umum, baik syari’ah maupun konvensional.
2. Margin
bagi hasil lebih tinggi yang dikenakan oleh BPR Syari’ah dibandingkan dengan
bank umum, baik syari’ah maupun konvensional. Oleh karena itu, masih banyak
masyarakat yang enggan untuk mengajukan pembiayaan ke BPR Syari’ah, meskipun
persyaratan dan prosedur yang lebih mudah dibandingkan dengan proses pengajuan
pembiayaan di bank umum.
G. Strategi
Pengembangan BPR Syari’ah
Adapun strategi
pengembangan BPR Syari’ah yang perlu diperhatikan adalah langkah-langkah
sebagai berikut:[7]
1. Langkah-langkah
untuk menyosialisasikan keberadaanBPR Syari’ah bukan hanya produknya, tetapi
sistem yang digunakannya perlu diperhatikan. Upaya ini dapat dilakukan melalui
BPR Syari’ah dan menggunakan strategi pemasaran yang halal. Hal lain yang dapat
ditempuh adalah perlunya kerja sama BPR Syari’ah dengan lembaga pendidikan atau
nonpendidikan yang mempunyai relevansi dengan visi dan misi BPR Syari’ah untuk
mnyosialisasikan keberadaan BPR Syari’ah.
2. Usaha-usaha
untuk meningkatkan kualitas SDM dapat dilakukan melalui pelatihan-pelatihan
mengenai lembaga keuangan syari’ah dan lingkungan yang memengaruhinya. Untuk
itu, diperlukan kerja sama di antara BPR Syari’ah atau kerja sama diantara BPR
Syari’ah atau kerja sama BPR Syari’ah dengan lembaga pendidikan untuk membuka
pusat pendidikan lembaga keuangan syari’ah atau kursus singkat lembaga keuangan
syari’ah.
3. Melalui
pemetaan potensi dan optimasi ekonomi daerah akan diketahui berapa besar
kemampuan BPR Syari’ah dan lembaga keuangan syari’ah yang lain dalam mengelola
sumber-sumber ekonomi yang ada. Dengan cara itu, dapat dilihat kesinambungan
kerja di antara BPR Syari’ah, demikian juga kesinambungan kerja BPR Syari’ah
dengan bank syari’ah dan BMT. Hal ini akan menigkatkan koordinasi di antara lembaga
keuangan syari’ah.
4. BPR
Syari’ah bertanggung jawab terhadap masalah keislaman masyarakat tempat BPR
Syari’ah tersebut berada. Oleh karena itu, perlu dilakukan kegiatan rutin
keagamaan dengan tujuan meningkatkan kesadaran akan peran Islam dalam bidang
ekonomi. Demikian juga, pola ini dapat membantu BPR Syari’ah dalam mengetahui
gejala-gejala ekonomi-sosial yang ada di masyarakat. Hal ini akan menjadikan
kebijakan BPR Syari’ah dibidang keuangan lebih sesuai dengan kondisi
masyarakat.
[1]
Subagyo, dkk., Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Yogyakarta: STIE YKPN,
2002, hlm. 118.
[2] Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan
Islam dan Lembaga-lembaga Terkait,
Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2002,hlm.117.
[3]
Warkum Sumitro, 2002, hlm.119. lihat juga Karnaer Perwaatmadja dan M. syafi’I
Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam , Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf,
1992, hlm. 96.
[4]
Warkum Sumitro, 2002, hlm. 120.
[5]
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia, No. 32/36/KEP/DIR/1999 tentang Bank
Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syari’ah.
[6] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan
Syari’ah, Yogyakarta:Ekonosia, 2003, hlm. 99-100.
[7] Ibid, hlm. 100-101.
0 comments:
Post a Comment