BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARI’AH (BPRS)

Posted by Asrofy on 07:52


BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARI’AH (BPRS)

A.    Konsep Dasar dan Sejarah BPRS
Kehadiran perbankan berfungsi melayani masyarakat di daerah pedesaan atau pinggiran, atau biasa dikenal dengan rural banking. Di Indonesia, rural banking diakomodasikan dalam bentuk lembaga Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah (BPRS). Lembaga keuangna ini dibituhkan oleh masyarakat didaerah pedesaan atau pinggiran yang belum terjangkau oleh bank umum, baik dari penyimpanan dana nashabah maupun segi pembiayaan.
Status BPR diakui pertama kali dalam Paket Kebijakan Oktober (pakto) tanggal 27 Oktober 1988, sebagai bagian dari Paket Kebijakan Keuangan, Moneter, dan Perbankan. Secara historis, BPR adalah penjelmaan dari banyak lembaga keuangan, seperti bank desa, lumbung desa, bank pasar, Bank Pegawai Lumbung Pilih Nagari (LPN), Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Bank Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), dan lembaga lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu.[1] Sejak dikeluarkannya UU No. 7 Tahun 1992, keberadaan lembaga-lembaga keuangan tersebut diperjelas melalui izin Menteri Keuangan.
Dalam perundang-undangan, lembaga ini diatur dalam UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, bahwa BPR adalah lembaga keuangan bank yang menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka tabungan dan/ atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dan menyalurkan usaha dana sebagai usaha BPR. Pada UU Perbankan No.10 tahun 1998, disebutkan bahwa BPR adalah lembaga keuangan bank yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional atau berdasarkan prinsip syari’ah.
Menurut UU No. 21 tahun 2008 tentang perbankan syari’ah, Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah (BPRS) adalah bbank syari’ah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Berdirinya BPRS tida bisa dilepaskan dari pengaruh berdirinya lembaga-lembaga keuangan sebagaimana disebutkan sebelumnya. Cikal bakal lahirnya bank syari’ah di Indonesia pertama kali dirintis dengan mendirikan tiga BPR Syari’ah, yaitu:
1.      PT BPR Dana Mardhatillah, Kec. Margahayu, Bandung;
2.      PT BPR Berkah Amal Sejahtera, Kec. Banjaran, Bandung.
3.      PT BPR Amanah Rabbaniyah, Kec. Banjaran, Bandung.
Pada tanggal 8 Oktober 1990, ketiga BPR Syari’ah tersebut telah  mendapatkan izin prinsip dari Menteri Keuangan RI. Selanjutnya, dengan bantuan asistensi teknis dari Bank Bukopin cabang Bandung yang memperlancar penyelenggaraan pelatihan dan pertemuan para pakar perbankan. Pada tanggal 25 Juli 1991, BPR Dana Mardhatillah, BPR Berkah Amal Sejahtera, dan BPR Amanah Rabbaniyah mendapatkan izin usaha dari Menteri Keuangan RI.
Untuk mempercepat proses pendirian BPR Syari’ah yang lain, dibentuk lembaga-lembaga penunjang, antara lain sebagai berikut.[2]
1.      Institute for Syari’ah Economic Development (ISED)
ISED bertugas melaksanakan program pendidikan/ pemberian bantuan teknis pendirian BPR Syari’ah di Indonesia, khususnya di daerah-daerah berpotensi.
2.      Yayasan Pendidikan dan Pengembangan Bank Syari’ah
YPPBS membantu perkembangan BPR Syari’ah di Indonesia dengan melakukan kegiatan:
a.       Pendidikan, baik tingkat dasar untuk sarjana baru maupun tingkat menengah untuk para praktisi yang berpengalaman minimal 2 tahun di perbankan.
b.      Membantu proses pendirian dan memberikan bantuan asistensi teknis.

B.     Tujuan BPRS
Ada beberapa tujuan yang dikehendaki dari pendirian BPR syari’ah di dalam perekonomian, yaitu sebagai berikut[3]:
a)      Meningkatkan kesejahteraan ekonomi ummat, terutama masyarakat golongan ekonomi lemah yang pada umumnya berada di daerah pedesaan.
b)      Menambah lapangan kerja, terutama ditingkat kecamatan sehingga dapat mengurangi arus urbanisasi.
c)      Membina semangat ukhuwah islamiyah melalui kegiatan ekonomi dalam rangka meningkatkan pendapatan perkapita menuju kualitas hidup yang memadai.
d)     Mempercepat perputaran aktivitas perekonomian karena sector real akan bergairah.
Untuk mencapai tujuan tersebut diatas perlu disusun strategi operasional pencapainnya, yaitu[4]:
1)      BPR Syari’ah tidak bersifat menunggu terhadap datangnya permintaan fasilitas, melainkan bersifat aktif dengan melakukan sosialisasi/penelitian kepada usaha-usaha yang bersekala kecil yang perlu dibantu tambahan modal, sehingga memiliki prospek bisnis yang baik.
2)      BPR Syari’ah memiliki jenis usaha yang waktu perputaran uangnya jangka pendek dengan mengutamakan usaha skala menengah dan kecil.
3)      BPR Syari’ah mengkaji pangsa pasar, tingkat kejenuhan, dan tingkat kompetitifnya produk yang akan diberi pembiayaan.



C.    Karateristik BPR.
Dalam aktifitas oprasional perbankannya berdasarkan UU No. 21 tahun 2008, Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah (BPRS) dilarang:
a)      Melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah.
b)      Menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran.
c)      Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing, kecuali penukaran uang asing dengan izin bank Indonesia.
d)     Melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah.
e)      Melakukan penyertaan modal, kecuali pada lembaga yang dibentuk untuk menanggulangi kesulitan likuiditas Bank Pembiyaan Rakyat Syari’ah.
f)       Melakukan usaha lain diluar kegiatanusaha yang telah diatur dalam Undang-Undang.
Perbedaan Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah (BPRS) dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah sebagai berikut:
1)      Akad dan aspek legalitas dalam BPRS akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum islam. Seiring, nasabah berani melanggar kesepakatan/perjanjian yang telah dilakukan bila hukum itu hanya berdasarkan hukum positif.
2)      Adanya dewan pengawas Syari’ah dalam struktur organisasinya yang bertujuan mengawasi praktik oprasional BPRS agar tidak menyimpang dari prinsip syari’at.
3)      Penyelesaian sengketa yang terjadi dapat diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syari’ah maupun pengadilan agama.
4)      Bisnis dan usaha yang dibiayai tidak boleh bisnis yang haram, subhat ataupun dapat menimbulkan kemudharatan bagi pihak lain.
5)      Praktik oprasional BPRS, baik untuk penghimpunan maupun penyaluran pembiayaan, menggunakan system bagi hasil dan tidak boleh menerapkan sistem bunga.
D.    Kegiatan Usaha BPR Syari’ah.
Secara umum menurut UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah kegiatan usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) meliputi sebagai berikut:
1.      Kegiatan penghimpun dana masyarakat, penghimpunan dana tersebut dalam bentuk:
a.       Simpanan berupa tabungan atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan aqad wadi’ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah.
b.      Investasi berupa deposito atau tabungan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan aqad mudharabah atau aqad lain yang tidak bertentangan denagn prinsip syari’ah.
2.      Kegiatan penyaluran dana kepada masyarakat, penyaluran dana tersebut dalam bentuk:
a.       Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil berdasar akad mudharabah atau musyarakah.
b.      Pembiayaan untuk transaksi jual beli berdasarkan akad murabahah, salam, atau I istisna.
c.       Pinjaman berdasarkan akad qard.
d.      Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada nasabah berdasarkan akad ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bit tamlik.
e.       Pengambilalihan utang berdasarkan akad hawalah.
3.      Menempatkan dana pada bank syari’ah lain dalam bentuk titipan berdasarkan akad wadi’ah atau investasi berdasarkan akad mudharabah dan/ atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah.
4.      Memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah melalui rekening Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah yang ada di Bank Umum Syari’ah, Bank Umum Konvensional, dan Unit Usaha Syari’ah.
5.      Menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Syari’ah lainnya yang sesuai dengan prinsip syari’ah berdasarkan persetujuan Bank Indonesia.

E.     Pendiri BPR Syari’ah
1.      Syarat Pendirian
Pendirian BPR Syari’ah harus mengacu pada bentuk hokum BPR Syari’ah yang telah ditentukan dalam UU Perbankan. Sebagaimana dalam UU Perbankan Syari’ah No. 21 tahun 2008 Pasal 7, bentuk badan hukum suatu bank syari’ah baik berbentuk bank umum, unit badan hukum suatu bank syari’ah  bak berbentuk bank umum, unit usaha maupun BPRS adalah Perseroan Terbatas (PT).
Adapun syarat-syarat  untuk pendirian BPR Syri’ah adalah sebagai berikut.[5]
a.       BPR Syari’ah hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah dengan izin Direksi Bank Indonesia.
b.      BPR Syari’ah hanya didirikan dan dimiliki oleh:
·         Warga Negara Indonesia.
·         Badan hukum Indonesia yang seluruh pemilikannya oleh warga Negara Indonesia.
·         Pemerintah daerah.
·         Dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud diatas.
Pemberian izin pendirian BPR Syari’ah dilakukan dalam dua tahap, yaitu:
a.       Persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian BPR Syari’ah.
b.      Izin usaha, yaitu izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan usaha BPR Syari’ah setelah persiapan persetujuan prinsip dilakukan.
2.      Permodalan
Modal yang disetor untuk mendirikan BPR Syri’ah ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar:
a.       Rp 2.000.000.000, (dua milyar rupiah) untuk BPR Syari’ah yang didirikan diwilayah Jakarta, dan Kabupaten/Kotamadya Tangerang, Bogor, dan Karawang.
b.      Rp 1.000.000.000, (satu milyar rupiah) untuk BPR Syari’ah yang didirikan diwilayah ibukota provinsi di luar wilayah yang disebut pada butiran a.
c.       Rp 500.000.000, (lima ratus juta rupiah) untuk BPR Syari’ah yang didirikan diluar wilayah yang disebut pada butiran a dan b.
Modal yang disetor tersebut, yang digunakan untuk modal kerja bagi BPR Syari’ah, wajib sekurang-kurangnya berjumlah 50%. Dengan kata lain, biaya investasi dalam rangka pendirian BPR Syari’ah tidak boleh melebihi 50% dari modal yang disetor oleh pendirinya.
F.     Kendala Pengembangan BPR Syari’ah
Dalam praktik operasionalnya, BPR Syari’ah mengalami berbagai kendala, sebagai berikut.[6]
1.      Kiprah BPR Syari’ah kurang dikenal masyarakat sebagai BPR yang berprinsipkan syari’ah, bahkan masih ada sekelompok masyarakat yang menganggap BPR Syari’ah sama dengan BPR konvensional. Oleh karena itu, BPR Syari’ah perlu menegaskan dan meneguhkan identitasnya sebagai BPR yang menggunakan prinsip-prinsip syari’ah, yang akan banyak perbedaan secara konseptual  ataupun operasional dengan BPR konvensional.
2.      Upaya untuk meningkatkan professional sering terhalang rendahnya sumber daya manusia yang dimiliki oleh BPR Syari’ah, sehingga proses BRP Syari’ah dalam melakukan aktivitasnya cenderung lambat dan respons terhadap permasalahan ekonomi rendah. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan SDM perlu diarahkan disemua posisi, baik diposisi pemegang kebijakan maupun berposisi di lapangan.
3.      Kurang adanya koordinasi diantara BPR Syari’ah, demikian jugadengan Bank Syari’ah dan BMT. Sebagai lembaga keuangan yang mempunyai tujuan syi’ar Islam tentunya langkah koordinasi dalam rangka mendapatkan strategi yang yang terpadu dapat dilakukan untuk mengangkat ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan framework yang bisa dijadikan acuan diantara lembaga keuangan di tingkat kabuoaten, kecamatan, desa ataupun pasar dalam melangsungkan aktivitasnya tanpa menyampingkan keberadaan lembaga keuangan yang lain.
4.      Sebagai lembaga keuangan yang memiliki konsep Islam tentunya juga bertanggung jawab terhadap nilai-nilai keislaman masyarakat yang ada disekitar BPR Syari’ah. Aktivitas BPR Syari’ah dibidang keuangan sering tidak mengalokasikan waktu untuk melakukan aktivitas yang berhubungan dengan syiar Islam.
Selain itu, kendala pengembangan BPR Syari’ah di Indonesia dapatpula disebabkan hal berikut:
1.      Ekspansi yang dilakukan oleh bank umum, baik syari’ah maupun konvensional, ke daerah pinggiran yang selama ini menjadi target pasar dari BPR Syari’ah. Hal ini mengakibatkan banyaknya masyarakat yang beralih dari BPR Syari’ah kepada bank umum, baik syari’ah maupun konvensional.
2.      Margin bagi hasil lebih tinggi yang dikenakan oleh BPR Syari’ah dibandingkan dengan bank umum, baik syari’ah maupun konvensional. Oleh karena itu, masih banyak masyarakat yang enggan untuk mengajukan pembiayaan ke BPR Syari’ah, meskipun persyaratan dan prosedur yang lebih mudah dibandingkan dengan proses pengajuan pembiayaan di bank umum.
G.    Strategi Pengembangan BPR Syari’ah
Adapun strategi pengembangan BPR Syari’ah yang perlu diperhatikan adalah langkah-langkah sebagai berikut:[7]
1.      Langkah-langkah untuk menyosialisasikan keberadaanBPR Syari’ah bukan hanya produknya, tetapi sistem yang digunakannya perlu diperhatikan. Upaya ini dapat dilakukan melalui BPR Syari’ah dan menggunakan strategi pemasaran yang halal. Hal lain yang dapat ditempuh adalah perlunya kerja sama BPR Syari’ah dengan lembaga pendidikan atau nonpendidikan yang mempunyai relevansi dengan visi dan misi BPR Syari’ah untuk mnyosialisasikan keberadaan BPR Syari’ah.
2.      Usaha-usaha untuk meningkatkan kualitas SDM dapat dilakukan melalui pelatihan-pelatihan mengenai lembaga keuangan syari’ah dan lingkungan yang memengaruhinya. Untuk itu, diperlukan kerja sama di antara BPR Syari’ah atau kerja sama diantara BPR Syari’ah atau kerja sama BPR Syari’ah dengan lembaga pendidikan untuk membuka pusat pendidikan lembaga keuangan syari’ah atau kursus singkat lembaga keuangan syari’ah.
3.      Melalui pemetaan potensi dan optimasi ekonomi daerah akan diketahui berapa besar kemampuan BPR Syari’ah dan lembaga keuangan syari’ah yang lain dalam mengelola sumber-sumber ekonomi yang ada. Dengan cara itu, dapat dilihat kesinambungan kerja di antara BPR Syari’ah, demikian juga kesinambungan kerja BPR Syari’ah dengan bank syari’ah dan BMT. Hal ini akan menigkatkan koordinasi di antara lembaga keuangan syari’ah.
4.      BPR Syari’ah bertanggung jawab terhadap masalah keislaman masyarakat tempat BPR Syari’ah tersebut berada. Oleh karena itu, perlu dilakukan kegiatan rutin keagamaan dengan tujuan meningkatkan kesadaran akan peran Islam dalam bidang ekonomi. Demikian juga, pola ini dapat membantu BPR Syari’ah dalam mengetahui gejala-gejala ekonomi-sosial yang ada di masyarakat. Hal ini akan menjadikan kebijakan BPR Syari’ah dibidang keuangan lebih sesuai dengan kondisi masyarakat.





[1] Subagyo, dkk., Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Yogyakarta: STIE YKPN, 2002, hlm. 118.
[2]  Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam  dan Lembaga-lembaga Terkait, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2002,hlm.117.
[3] Warkum Sumitro, 2002, hlm.119. lihat juga Karnaer Perwaatmadja dan M. syafi’I Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam , Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1992, hlm. 96.
[4] Warkum Sumitro, 2002, hlm. 120.
[5] Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia, No. 32/36/KEP/DIR/1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syari’ah.
[6]  Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, Yogyakarta:Ekonosia, 2003, hlm. 99-100.
[7]  Ibid, hlm. 100-101.

BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARI’AH (BPRS)
Posted at: 07:52

0 comments:

Post a Comment

MS