BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia
sebagai mahluk pencari kebenaran dalam perenungannya akan menemukan tiga bentuk
eksistensi, yaitu agama, ilmu pengetahuan, dan filsafat agama mengantarkan
manusia kepada kebahagiaan abadi. Ilmu pengetahuan mengantarkan kepada
kebenaran, dan filsafat membuka jalan untuk mencari kebenaran. Sehingga dalam
filsafat mempelajari tentang kebahagiaaan atau hedonisme. Dimana hedonism
adalah pencarian kesenangan atau kebahagiaan, akan tetapi Hedonisme ini
mempunyai pengertian yang sangat banyak sehingga dalam makalah ini dipaparkan
bagaimana pendapat para Filosof mengenai Hedonisme ini.
B. Rumusan masalah
1.
Apa pengertian
hedonisme?
2.
Bagaimana
pandangan para filosof mengenai hedonisme?
3.
Bagaimana
pandangan islam mengenai hedonisme?
BAB II
PEMBAHASAN
HEDONISME
A.Pengertian Hedonisme
Hedonisme diambil
dari bahasa Yunani he-donismos dari akar kata “Hedone”,artinya
“Kesenangan”.Paham ini menyatakan bahwa kebahagiaan yang didasarkan pada suatu
kenikmatan adalah merupakan suatu tujuan dari tindakan manusia.Oleh karna itu
suatu tindakan baik dan buruk,etis atau tidak etis yang bertujuan untuk
mendapatkan kenikmatan bagi manusia adalah baik. Dalam teori hedonistik dibawah
ini:
1.
Hedonisme
bepandangan bahwa sikap atau tindakan yang baik adalah sikap atau tindakan yang
dapat menimbulkan perasaan senang atau bahagia.Rumusnya:”suatu tindakan adalah
baik”,artinya tindakan itu kondusif bagi kesenangan.Menurut pandangan ini ,mencari
keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya adalah baik karna mendatangkan
kesenangan bagi diri sendiri.
2.
Hedonisme
egoistic. Hedonisme egoistic ini memiliki keyakinan bahwa “suatu tindakan
adalah baik”,artinya tindakan itu kondusif bagi sebesar-besarnya kesenangan dan
sekecil-kecilnya rasa sakit pada diri sendiri.Menurut pandangan ini, mencari
keuntungan sebesar-besarnya dan mencegah kerugian sekecil-kecilnya adalah
baik,karena mendatangkan perasaan senang dan terhindar dari perasaan tidak
menyenangkan pada diri sendiri.
3.
Hedonisme
Universal (Utilitarianisme).Bagi Hedonisme Universal ini,”suatu tindakan adalah
baik”,berarti rindakan itu kondusif bagi sebesar-besarnya kesenangan dan
sekecil-kecilnya rasa sakit pada masyarakat.Meski tidak bersikap
egoistic,karena berkenaan dengan kesejahteraan social,dengan kebebasan dan
demokrasi,dengan keadilan social,tetapi disebut hedonistic juga karena
landasannya adalah prinsip kesenangan,kadang-kadang prinsip kegunaan (utilitarianisme).
Hedonisme ini
muncul pada awal sejarah filsafat sekitar tahun 433 SM. Hedonisme ingin
menjawab pertanyaan filsafat “Apa yang menjadi hal terbaik bagi manusia?”
Hal ini diawali
dengan Socrates yang menanyakan apa yang sebenarnya menjadi tujuan akhir
manusia.
B.Pendapat para Filosof tentang Hedonisme.
1.
Democritus
(400-370 SM).
Demokritus adalah tokoh pertama
yuang dikenal mengajarkan aliran Hedonisme dimana Democritus memandang bahwa
kesenangan sebagai tujuan pokok didalam kehidupan ini.Meskipunyang dimaksud
bukan terhenti pada kesenangan fisik semata-mata melainkan kesenangan fisik
sebagai alat perangsang bagi berkembangnya intelektual manusia.
2.
Aristippus
(433-355 SM).
Aristippus adalah salah seorang pengikut Sokrates, maka Aristippus
menyetujui pendapat Socrates bahwa keutamaan adalah “mencari yang baik.”
Akan tetapi ia menyamakan yang baik ini dengan
kesenangan”Hedone”.Menurutnya, akal (rasio) manusia harus memaksimalkan
kesenangan dan meminimalkan kesusahan.Hidup yang baik berkaitan dengan kerangka
rasional tentang kenimatan.
Kesenangan menurut Aristippus bersifat badani (gerak dalam
badan).Ia membagi gerakan itu dalam 3 kemungkinan, yaitu:
a.
Gerak kasar, yang
menyebabkan ketidak senangan seperti rasa sakit.
b.
Gerak halus,
yang membuat kesenangan .
c.
Tiada gerak,
yaitu sebuah keadaan netral seperti kondisi saat tidur.
Aritippus memandang bahwa kesenangan
sebagai hal actual,artinya kesenangan terjadi kini dan disini.
Kesenangan bukan sebuah masa lalu
atau masa depan.Menurutnya, masa lalu hanya ingatan akan kesenangan (hal yang
sudah pergi) dan masa depan adalah hal yang belum jelas. Meskipun kesenangan
kesenangan dijunjung tinggi oleh Aristippus, ada batasan kesenangan itu
sendiri.Batasan itu berupa pengendalian diri. Meskipun demikian pengendalian
diri ini bukan berarti meninggalkan kesenangan.
Misalnya,orang yang sungguh-sungguh
ingin mencapai nikmat sebanyak mungkin dari
makan dan minum bukan dengan cara makan sebanyak-banyaknya,tetapi harus
dikendalikan atau dikontrol agar mencapai kenikmatan yang sebenarnya.
3.
Epicuros
(341-270 SM).
Epicuros
sebagai tokoh Hellenisme[1] ia
lebih memiliki argument rinci tentang hedonisme. Ia menyerukan pada pencarian
kesenangan indrawi.Kesenangan inderawi ini dengan menganggapnya sebagai
kebaikan tertinggi bagi setiap perilaku manusia.Oleh karena itu kesenangan
inderawi menjadi standar kebahagiaan. Namun ia mensyratkan agar kesenangan
tersebut bebas dari rasa sakit, sehingga ia rela menerima sakit temporal, jika
dibelakangnya terdapat kesenangan yang lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa
Epicuros mempergunakan akal dalam membandingkan antara berbagai kesenangan yang
menjamin kebahagiaan secara berkelanjutan.Rasa khawatir atau takut sakit tidak
mengotori kesucian kebahagiaan itu. Mazhab Epicuros beralih dari berusaha
mencari kesenangan inderawi kepada pencarian kebahagiaan spiritual yang
berdasar pada petunjuk akal. Karena keinginannya yang besar akan ketenangan
jiwa,maka ia tidak menyibukkan dirinya untuk sesuatu yang berujung pada
kekhawatiranan dan rasa sakit, seperti mencari harta,ketenaran, atau keinginan
untuk membangun keluarga.
Sehingga puncak
hedone bagi Epicuros ialah ketenangan jiwa. Jiwa dapat meninjau kembali
peristiwa-peristiwa yang menyenangkan. Jiwa dapat mengatasi keterbatasan
jasmani manusia.
Epicurisme merupakan bentuk
hedonisme yang bercorak eudaemonistik.[2]
4.
Thomas Hobbes
(w.1679)
Pada abad ke-17 hedonisme dari Yunani kuno timbul
kembali, di pelopori oleh seorang filsuf inggris (Thomas Hobbes) yang juga
menyerukan kepada kesenangan inderawi dengan anggapan bahwa itu adalah kebaikan
tertinggi yang wajib direalisasikan oleh perbuatan-perbuatan moral kita.Namun
ia berbeda dengan Aristippus dan Epicuros tentang penegasan kekuasaan
masyarakat dan kepatuhan terhadap penguasa.Karena dalam pandangannya, ketika
kesenangan inderawi merupakan penegasan bagi kesenangan manusia dan merupakan
pemeliharaan terhadap eksistensinya, maka setiap individu dalam pengusahaan
atas kesenangan tidak boleh melampaui batas orang lain yang mengakibatkan
berkurangnya perasaan mereka terhadap kebahagiaan sekaligus mengancam
usaha-usaha mereka.Oleh karena itu Hobbes menuntut para individu untuk
mewakilkan penjagaan kepentigan mereka kepada penguasa dimana mereka secara sukarela
membagi sebagian kekuasaan mereka kepadanya, karena penguasa adalah utusan dari
perhatian Tuhan kepada mereka.Oleh karena itu penguasa adalah kekuasaan yang
membatasi makna kebaikan dan kejahatan.
5.
Jeremy Bentham (1832 SM).
Jeremy Bentham, salah seorang filsuf Inggris juga menuntut
kesenangan iderawi. Namun berbeda dengan Hobbes, ia mengatakan agar pada saat
yang sama seorang individu berusaha untuk mewujudkan kesenangan dan keuntungan
orang lain, tetapi dengan syarat agar ia mengorbankan kesenangan itu,jika
terjadi benturan dengan kesenangan khususnya.Lalu ia mendahulukan prinsip
egoisme atas prinsip altruisme[3] sebagai
faktor perilaku moral. Bentham membuat deskripsi-deskripsi
detail tentang kesenangan inderawi yang dapat dijadikan sebagai pilihan sebelum
melakukan suatu perbuatan,dengan syarat yang dirincikan sebagai berikut:
a.
Bobot
kesenangan, kuat atau lemah
b.
Kontinuitasnya
c.
Sejauh mana
keyakinan untuk memperolehnya
d.
Sejauh mana
kemungkinan untuk memperolehnya
e.
Kesuburannya,
yaitu kemungkinannya menghasilkan kesenangan lain
f.
Kemurnian yang
tidak dikeruhkan oleh rasa sakit,gundah atau khawatir
g.
Sejauh mana
cakupannya terhadap orang lain.
Dari syarat-syarat ini, tampak bahwa
Bentham memprioritaskan peran akal sebagai kekuatan yang membedakan antara
bebagai macam kesenangan inderawi serta mengkomparasikannya untuk mewujudkan
keuntungan dan kebahagiaan individu.
6.
Stoisisme (366-264 SM).
Sebagai tokoh stoisisme[4]
adalah Zeno yang berasal dari Citirium, Cyprus. Ajaranya mempunyai persamaan
dengan Epicurus.
Pokok ajarannya adalah bagaimana
manusia dalam hidupnya dapat bahagia. Untuk mencapai kebahagiaan itu manusia
harus harmoni terhadap dunia (alam) dan harmoni dengan dirinya sendiri. Manusia
harus harmoni dengan dunia (alam) karena manusia merupakan bagian daripada
dunia (alam). Untuk mencapai harmoni dengan duniia (alam), manusia harus
terlebih dahulu harmoni dengan dirinya sendiri. Apabila manusia telah mencapai
harmoni dengan dirinya sendiri, maka kebahagiaan bukan lagi menjadi tujuan
hidup, tetapi dalam keadaan harmoni dengan dirinya sendiri, itulah sesungguhnya
manusia dalam keadaan apatheia, yaitu
keadaan tanpa rasa (pathe) atau
keadaan manusia dimana dirinya dapat menguasai segala perasaannya.
7.
Skeptisisme (360-270).
Tokoh skeptitisme[5]
adalah Pyrrhe. Pokok ajarannya adalah bagaimana cara manusia agar dapat hidup
berbahagia. Hal ini ia menengarai bahwa sebagian besar manusia itu hidupnya
tidak bahagia, sehingga manusia sukar sekali mencapai kebijaksanaan. Syaratnya,
manusia perlu untuk tidak mengambil keputusan karena orang yang tidak pernah
mengambil keputusan itu disebut orang yang tidak pernah keliru. Untuk tidak
pernah keliru itu manusia harus selalu ragu-ragu terhadap segala bentuk
kebenaran dan pengetahuan. Dengan demikian, orang yang bijaksana adalah orang
yang selalu ragu-ragu, dengan keraguannya itu orang tidak akan pernah keliru.
Akhirnya orang tersebut dikatakan sebagai orang yang tidak pernah mengambil
keputusan, dan orang yang tidak pernah mengambil keputusan itulah orang yang
berbahagia.
8.
Shopisme
Kaum Shopis[6]
menyatakan bahwa keinginan untuk memperoleh kelezatan inderawi merupakan motif
bagi perilaku moral, dimana individu menggunakan bebagai sarana yang
memungkinkan untuk mecapai tujuan ini, tanpa melihat kebiasaan, unsur-unsur,
nilai sosiologis yang berkembang, hokum social serta ajaran agama.
Ketika pengetahuan inderawi individu
merupakann standar segalanya dengan anggapan bahwa pengetahuan inderawi adalah
satu-satunya pengetahuan dan manusia tak bias mencapai pengetahuan lain yang
oleh kaum rasionalis, pengetahuan lain ini dinamakan dengan hakikat rasional universal yang tetap. Karena
manusia tidak mampu mencapai pengetahuan hakiki, maka kebaikan manusia dalam
pandangan kaum shopis berkaitan dengan sensasi. Jika perbuatan moral mewujudkan
kesenangan inderawi, maka ia baik dan jika mengakibatkan rasa sakit atau
bahaya, maka ia buruk. Manusia sendiri dapat ,mengetahui bahwa kesenangan ini
adalah kebaikan yang dicarinya, atau rasa sakit dan marabahaya ini adalah
keburukan yang mesti dihindarinya. Hal itu berarti bahwa individu merupakan
standar kebaikan dan keburukan, atau standar keutamaan atau ketercelaan,
sebagaimana ia juga menjadi standar pengetahuan. Maka apa yang dikatakannya
adalah kebenaran dalam kaitannya dengan dirinya, meskipun ia bertentengan
dengan orang lain.
C. Hedonisme
Dalam Pandangan Islam.
Saat ini banyak cara yang dipakai
musuh-musuh islam untuk merongrong islam dan ummat islam. Diantaranya adalah
dengan melancarkan ideology-ediologi budaya yang disinyalir bias menjauhkan ummat
islam dari identitas keislamannya. Salah ssatu ideology tersebut bernama
hedonism (kesenangan adalah hal yang paling penting dalam hidup.), yang pada
awalnya merupakan sebuah konsep filsafat etika.
Ali Asyyari’ati, seorang ulama’ terkemuka
di Timur tengah pernah berkata bahwa tantangan terbesar bagi remaja muslim saat
ini adalah budaya hedonisme tersebut. Masih banyak yang terpengaruh dengan gaya
hidup liberal dan hedonis. Ini menjauhkan dan mengeluarkan mereka dari gaya
hidup yang beradab, yaitu dari hokum Allah yang menciptakan manusia. Allah SWT.
Berfirman:”…dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah
yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa (QS. Huud:116).
Oleh karena itu, gaya hidup yang hedonis yang hanya mementingkan kesenagan pada
diri sendiri tanpa memikirkan orang lain tidak dibenarkan dalam ajaran islam.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Hedonisme
berpandangan bahwa sikap atau tindakan yang baik adalah sikap atau tindakan
yang dapat menimbulkan perasaan senang atau bahagia. Sedangkan hedonism
bersifat egoistic adalah sikap atau tindakan yang dapat menimbulkan perasaan
senang atau bahagia tanpa memikirkan orang lain.
Sedang
hedonism dalam pandangan islam tidak diperbolehkan, sesuai dengan firman Allah
SWT. : ….dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah
yang ada pada diri mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa. Akan
tetapi, untuk mencapai kesenangan juga diperbolehkan asal tidak sampai
melanggar aturan, dan tidak sampai merugikan orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Drs.H.Kaelan,MS.2002.Filsafat
Pancasila Pandangan Hidup Bangsa Indonesia,Yogyakarta: Penerbit Paradigma.
Dr.Abidin,Z.2011.Pengantar
Filsafat Barat,Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
Achmadi,Asmoro.2005.Filsafat
Umum,Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
Drs.
Surajiyo,2009. Ilmu Filsafat Suatu
Pengantar,Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Drs.
Salam Burhanuddin,2009.Pengantar Filsafat,Jakarta:
PT. Bumi Aksara.
Dr.Farid
Isma’il Fu’ad, Dr. Abdul Hamid Mutawalli,2003.Cepat Menguasai Ilmu Filsafat,Jakarta: Ircisod.
[1]
Hellenisme adalah nama untuk kebudayaan, cita-cita dan cara hidup orang Yunani
seperti yang terdapat di Athena di zaman Pericles. Hellenisme pada abad ke-4 SM
diganti oleh kebudayaan Yunani, atau setiap usaha menghidupkan kembali
cita-cita Yunani zaman modern. Lihat, Pringgodigdo, (Ed.), Ensiklopedi Umum, Kanisius, Yogyakarta, 1972,hlm. 402.
Baca, Hellenisme, Filsafat Umum, Asmoro achmadi,
Jakarta,1995,hlm.60.
[2]
Lihat Eudaemonisme,Pengantar Filsafat
Barat, Dr.Zainal Abidin,Jakarta,2011,hlm.77.
[3]
Altruisme adalah hak sifat mementingkan kepentingan orang lain/ suatu pandangan
yang menekankan, bahwa kewajiban mutlak bagi manusia adalah memberikan
pengabdian dan rasa cinta kepada sesama.
[4]
Lihat, Filsafat Umum, Asmoro achmadi,
Jakarta, 1995, hlm.61. Lihat juga Ilmu
Filsafat Suatu Pengantar, Drs. Surajiyo, Jakarta,2009,hlm.156.
[5] Skeptisisme
adalah paham yang menganut tentang keragu-raguan. Lihat, Filsafat Umum, Asmoro achmadi,Jakarta, 1995,hlm.62. Lihat juga Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Drs.
Surajiyo, Jakarta,hlm.156.
[6]
Lihat, Cepat Menguasai Ilmu Fillsafat,
Dr. Fu’ad Farid Isma’il,Jakarta,2003,hlm.237.
0 comments:
Post a Comment